Aku termenung cukup lama di dalam kamar, papa dan mama sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Percakapan singkat barusan kembali berputar-putar di kepalaku. Kuhapus air mataku dengan kasar. Rasanya sangat menyakitkan terasa seperti dikhianati, ditusuk dari belakang. Tapi aku juga tahu aku juga sudah menyakiti perasaan papa tapi ... ah, sungguh sulit berada di posisi ini.
Kenapa sih orang tua tuh selalu merasa mereka berhak menentukan keputusan untuk anak mereka? Bagaimana bisa bilang bahwa ini adalah yang terbaik buatku? Maksudku, aku juga sudah dewasa, aku tahu apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Aku juga tipe anak normal yang selalu mematuhi norma-norma bermasyarakat. Aku nggak pernah nakal dengan mabuk-mabukan, mencuri atau apalah. Tapi kenapa mereka sama sekali tidak bisa percaya melepaskanku seutuhnya?
Aku menyayangi kedua orang tuaku. Mereka selalu ada ketika aku butuhkan. Hangatnya pelukan mereka adalah rumahku.Tapi kenapa justru rumahku yang paling kusayangi justru meluluhlantakkan semua mimpi-mimpiku? Apakah semenyakitkan itu bagi mereka melihat aku memilih keinginanku sendiri?
Dan yang paling buruknya kenapa harus seorang Aji?
*
"Qia, duduk dulu di sini. Papa mau ngomong sebentar."
Aku meletakkan tasku di atas meja dan bergantian melihat ke arah mama juga papa yang memasang wajah serius. Jantungku berdebar kencang merasa was-was dengan sikap keduanya yang berubah drastis. Aku mengingat-ngingat kejadian beberapa hari yang lalu. Apakah aku melakukan kesalahan serius sampai papa harus bersikap formal seperti ini untuk berbicara denganku?
Aku menuruti perintah papa untuk duduk di sebelahnya. mama menyusul untuk duduk di belakangku. Tak tahu permasalahan apa lagi yang ingin mereka bahas kali ini karena setahuku aku tak melakukan kesalahan apa-apa. Hidupku sangatlah adem ayem akhir-akhir ini. Aku selalu memberitahu kondisiku selama aku kuliah. Nilaiku baik-baik saja. Aku juga tidak menyembunyikan rahasia apapun.
Mama mengelus kedua pundakku dan aku mulai curiga dengan suasana ini. Ini seperti malam beberapa tahun lalu saat papaku meminta untuk aku masuk AKMIL atau AKPOL setelah lulus SMA dulu dan firasatku mengatakan bahwa aku akan kalah dalam kompromi ini.
"Papa sudah memikirkan ini matang-matang, bahkan kami berdua juga sudah minta petunjuk kepada Tuhan dan papa yakin ini semua untuk kebaikanmu di masa yang akan datang," kata papa Tipikal pembukaan yang klise pikirku.
"Apa pa?"
Papa menghirup udara panjang kemudian dihembuskan perlahan. "Papa mau kamu menikah dengan Aji," ungkapnya.
Otomatis aku tertawa, dong? Gila aja, siapa yang nggak ketawa coba di kondisi yang serius dan menegangkan seperti tadi tiba-tiba papa membuat lelucon yang sama sekali tak lucu. Aku kembali meregangkan otot yang tegang dan menghapus bulir air mata akibat tertawa terlalu keras. Setelah tawaku mereda aku kembali melihat ke arah mama dan papa bergantian. Beberapa detik kemudian aku mulai menghentikkan tawaku karena papa dan mama kini melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
"Papa sama mama ... bercanda kan?" tanyaku berharap yang aku tertawakan barusan benar-benar sebuah guyonan.
"Qia ... papa serius."
Kuhempaskan tangan papa yang menggenggam tanganku, nafasku semakin berderu dan jantungku berpacu dengan cepat. Tiba-tiba saja kepalaku terasa penuh sesak membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Kulangkahkan kakiku ke arah dispenser, dengan cepat aku meneguk segelas besar air dingin. Aku butuh berpikir jernih. Jangan sampai aku kelewatan dan mengeluarkan kalimat yang menyakiti kedua belah pihak.
"Sekali lagi aku tanya, papa sama mama bercandakan!?" tanyaku.
"Nak, sini dulu biar mama yang jelasin ...." Aku menolak sentuhan dari mama yang menyusulku. Sebisa mungkin aku menghindari untuk menatap keduanya. Aku mendongak agar air mataku tak tumpah. Sebisa mungkin aku mencoba untuk tetap tegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suck It and See (Complete)
RomanceQia dijodohkan dengan Aji, seorang tentara angkatan darat yang sifatnya sungguh berkebalikan dengannya. Meskipun dituntut untuk segera beradaptasi dalam menjalankan peran barunya, gadis itu pantang menyerah dalam mempertahankan kebebasannya. *** Men...