Chapter 44

43.6K 4K 277
                                    


Aji berdiri serorang diri di salah satu pilar rumah Qia. Ia duduk melihat hujan di kursi kayu di depan rumah Qia yang sudah lama tak ia kunjungi. Qia memperhatikan halaman rumah yang gelap itu. semuanya terlihat lebih rindang dan bunga-bunga yang bermekaran.

Aji mengetatkan jaketnya untuk menghilangkan dingin. Ia terkejut saat Qia meneleponnya menggunakan nomornya sendiri dan perintah Qia untuk melarangnya beranjak dari tempat membuat Aji tak bisa mencari warung untuk menghangatkan diri.

Pria itu tahu betul bahwa rumah itu tak ada penghuninya. Kedua mertuanya yang ia temui ketika upacara penyambutan tadi mengatakan bahwa mereka akan pergi sore ini dan menyuruh Aji untuk mengunjungi Qia besok ketika wanita itu mendapatkan hari libur.

Aji tidak bisa.Ia sudah terlalu lama merindukan istrinya. Ia sudah diberi tahu oleh ppa mertuanya tentang apa yang terjadi. Pria itu meminta maaf dengan memeluknya dengan erat. Aji bisa mengerti. Orang tuanya juga sudah menghubunginya beberapa hari sebelum ia kembali. Mamanya juga ternyata sama tidak mengetahui akan misi yang ia jalankan.

Mamanya ingin menemuinya secara langsung tapi Aji minta waktu sebentar. Ia juga merindukan ibunya tapi ada seseorang yang benar-benar Aji kunjungi. Ia benar-benar ingin berbicara dengan Qia dulu. Ingin tahu apa yang wanita itu pikirkan. Bagaimana masa depan mereka atau langkah apa yang ingin Qia ambil.

Sungguh Aji masih memiliki rasa takut jika Axel atau teman pria Qia siapapun itu beurbsaha membuat Qia pergi meninggalkannya. Aji benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi.

Aji mendengar suara mobil. Ia berdiri ketika melihat sebuah taxi berhenti di depan pagar besi hitam tinggi itu. Ia tidak bisa langsung melihat siapa yang turun karena orang itu langsung membuka payungnya. Dari rok hitam selutut juga heels tingginya, Aji tahu bahwa itu Qia.

Jantungnya berdebar sangat cepat.

"Aji?" panggil Qia ketika masuk ke dalam pagar.

Entah keberanian dari mana. semua kekhawatirannya hanyut bersama hujan. Mendengar Qia memanggil namanya, memacu adrenalin pria itu. Aji tak memperdulikan hujan deras di depannya. Ia berlari meninggalkan kursi kayu tempat Qia menyuruhnya untuk menunggu.

Pria it berdiri memiringkan kepalanya agar tidak terkena payung dan memeluk Qia dengan erat.

"Qia," balas Aji menyebut nama istrinya.

Qia terkejut dengan Aji yang tiba-tiba memeluknya. Qia yang merindukan pria itu melepaskan payungnya dan membalas pelukan Aji. tubuh keduanya basah oleh hujan. Tak ada rasa dingin. Keduanya sama-sama merengkuh kehangatan yang mereka masing-masing berikan.

Aji mengeratkan pelukannya ketika Qia membalas pelukannya. Ia merasa lega. Tanpa kata-kata ia tahu bahwa mereka memiliki keputusan yang sama. Aji sangat lega merasakan pelukan Qia kembali. Ia pikir Qia akan meninggalkannya. Sungguh pemikiran seperti itu sempat terbesit di pikirannya.

Qia sangat dingin. Begitu juga dengan pertemuan mereka kembali. Setiap sambungan telepon yang ia buat juga Qia selalu menyapanya dengan dingin. Amun merasakan pelukan tangan-tangan Qia adalah hal yang paling melegakan yang perna Aji rasakan.

Dirinya seperti sudah berjalan di padang pasir selama ratusan tahun dan akhirnya diberi kesempatan untuk menemukan oasis.

"Qia ... kangen."

Qia mendorong tubuh Aji.

"Duh, kenapa harus hujan-hujanan sih, Ji? Kan kamu bisa nunggu aku di tempat teduh. Ayo mausk! Kalau gini aku jadi ikutan basah kan."

Qia melepaskan pelukan Aji dengan lebih kasar kemudian menarik tangan pria itu untuk ikut dengannya masuk ke dalam. Qia menyalakan semua lampu rumah tiba-tiba sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang.

"Aji ..."

"Sebentar, Qia. Saya kedinginan," jawab Aji yang kemudian menenggelamkan wajahnya di pundak Qia. Qia menghela nafas panjang. Ia merindukan suaminya tapi mengapa ia bersikap seperti ini? Dia terlalu malu dan canggung sehingga membuatnya salah tingkah.

Qia pun mencoba untuk lebih tenang. Menghela nafas perlahan kemudian memeluk tangan Aji yang memeluk perutnya dari belakang.

"Qia, kita akan tetap bersama kan?' tanya Aji yang butuh jawaban wanita itu untuk semakin terlepas dari belenggu kekhawatiran sepenuhnya.

Qia menutup matanya sejenak. Menikmati hangat tubuh Aji di belakangnya. Hujan yang mengguyurnya tadi sunguh dingin. wanita itu mengangguk dan Aji membisikkan terima kasih di telinga istrinya tu.

Aji melepaskan pelakuannya, Qia berbalik untuk menghadap suaminya.

"Maaf aku sudah menyalahkanmu tanpa tahu kalau kamu juga nggak tahu apa-apa."

Aji menggeleng. "Jangan meminta maaf, Qia. Itu tidak benar. Ini memang salahku. tidak membicarakan ini sejak awal."

Aji mengistirahatkan keningnya pada kening Qia yang basah. Air hujan menetes dari wajah Aji ke pipi Qia. Dari perbedaan kehangatannya, sepertinya itu bukan air hujan biasa pikir Qia. Qia tidak ingin mengomentari dan membiarkan Aji melupakan perasanya. Seorang pria juga boleh menangis.

Qia meletakkan kedua tangannya di pipi Aji, membawa pria itu untuk lebih mendekat. Qia menjinjit lebih jauh lagi, meletakkan bibirnya pada bibir pria itu dengan lembut. memberikan sebuah kecupan selembut hinggapan kupu-kupu.

Aji membuka matanya perlahan. Ia tenggelam di iris mata sitrinya yang tengah menatapnya dengna syau. Qia hanya mengangguk. Ia tidak perlu Aji untuk mengatakannya. Ia tahu pria itu menginginkan nya begitu juga dengan dirinya.

Aji meletakkan tangannya di belakang tengkuk Qia, memperdalam ciuman mereka. Kepalanya miring agar bisa melumat bibir Qia yang lembut dan dingin akibat air hujan. Tak butuh lama bagi Qia kembali hangat. Qia menahan tangan Aji yang bergerak di belakang punggungnya.

"Jangan di sini." bisik wanita itu.

Aji mengangguk tetapi tak bisa melepaskan tangannya dari tubuh Qia. Pria itu mengecup pipi istrinya membuat Qia tertawa kecil kegelian apalagi ketika pria itu menggigit pipinya dengan gemas.

"Aku kunci pintu dulu"

Setelah mengunci pintu, Qia mengajak Aji untuk naik ke atas kamarnya. Setelah Aji masuk, Qia kembali mengunci pintu kamarnya jaga-jaga karena Pak Ian memiliki kunci cadangan rumah begitu juga pembantu di rumahnya.

Aji dan Qia sama-sama berdiri dalam keheinngan. Qia menoleh ke arah pria itu tersenyum simpul dan melepaskan kancing kemejanya satu per satu buat Aji menelan salivanya dengan susah payah. Qia mengedipkan matanya dengan pelan dan Aji tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

***

Haruskah dilanjut bagian itunya (21+)? Aku ga berani nulisnya TT

Kayaknya kalau akunulis biar aku mauskin Karya Karsa aja kali ya? 

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang