Chapter 30

51.7K 4.4K 127
                                    

Sekarang aku sedang berbaring di tempat tidur bersama Jade. Suasana bosan kembali menyelimutiku. Kapan aku bisa keluar dari rumah? Aku sekarang sudah bagaikan tahanan yang tak boleh kemana-mana oleh suamiku sendiri, padahal badanku sendiri sudahlah sangat sehat jasmani dan rohani.

Mama papa juga sama berlebihannya. Hampir setiap hari mereka mengunjungi atau meneleponku hanya sekadar bertanya apakah aku telah makan atau minum. Jika belum mereka akan menelepon Mas Aji untuk menyuruhku makan.

Tontonan televisi di depanku tak mampu menghibur. Justru rasanya semakin bosan saja. Seandainya aku memiliki jadwal kuliah, mungkin aku bisa memiliki izin untuk meninggalkan rumah. Berbincang dengan teman kampus atau sekadar merasa stres akan proposal skripsiku.

Aku berkeliling rumah mencari kegiatan. Jade juga kembali ke aktifitas favoritnya yakni makan camilan yang aku berikan. Rumah juga sepi kalau ga ada Mas Aji, biasanya kan pria itu paling lucu kalau sudah dirundung. Wajah polos yang terpaksa harus menerima semua tingkahku adalah hiburan tersendiri.

Saat aku memikirkannya tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikiranku. Jari-jemariku bergerak cepat mengetik pesan di ponsel.

To Bambang:

Beng, Mas Aji lagi ngapain?

From Bambang:

Nggak tahu, Bu. Kayaknya masih ada di ruangannya deh.

Sekarang aku dan Bambang a.k.a Ebeng saling berbagi pesan secara non-formal. Jadi sudah tidak ada kata-kata yang diulangi setiap di awal maupun di akhir kalimat layaknya dulu. Cuma embel-embel 'Bu Kapten' belum bisa ia hilangkan. Pernah ketahuan ia memanggilku 'Mbak Qia' seketika itu juga mata Mas Aji mengeluarkan laser ke arah kepala Ebeng. Kasihan sih lihatnya tapi lucu.

To Bambang:

Kalian sudah makan siang?

From Bambang:

Belum, Bu. Ini saya mau jalan ke ruangannya mau ajak makan siang.

To Bambang:

Oh, Yaudah. Kalian mau pesanin makanan aja, ngak? Biar kalian ga usah keluar gitu.

From Bambang:

Nggak, usah repot, bu. Ini Bang Aji sudah mau pake baju. Kita makan sama yang lain aja. Mau difotoin, nggak?

Aku membaca pesan di ponselku sekali lagi dengan mata terbuka lebar.

To Bambang:

Heh! Kalian ngapain nggak pake baju? Tapi boleh kirimin dong beng, hehe ...

Memang ... dari semua teman Mas Aji. bambang paling tahu apa yang aku inginkan.

Senyumku terpatri melihat keindahan yang diciptakan oleh Tuhan khusus untukku. Mas Aji itu memang tidak putih layaknya aktor-aktor korea yang kusukai tapi justru itu menunjukkan sisi maskulinnya. Kalau anakku cowok pasti bakal seganteng bapaknya. Wajahnya tuh manis banget. Anehnya aku nggak bosen-bosen lihat wajahnya padahal ekspresinya tuh cuma gitu-gitu aja. Jarang berubah tapi seneng aja lihatnya.

Padahal kalau diingat-ingat tipe cowokku tuh jauh banget dari Mas Aji. AKu suka tipe cowok cantik ala korea dengan kulit putih glowing. Terus yang rambutnya panjang dengan poni badai menutupi kening. Malah dapatnya yang berbanding terbalik. Wajahnya Mas Aji juga nggak terlalu glowing. Dia beberapa kali berjerawat dan langsung aku rawat biar nggak membekas atau menyisakan bekas.

Mas AJi kurang dalam urusan jaga diri. Maka dari itu sejak sma aku, sering aku paksa untuk pakai skin care bareng. Biarpun nggak putih bersinar tapi masih bersih dan sehat kulit wajahnya.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang