Chapter 34

42.3K 4.2K 174
                                    

Rasanya … hampa.

Aku kehilangan banyak hal dalam satu hari.

Berat badan turun drastis, insomnia akibat mumu buruk, ditambah dengannya stress tugas akhir yang coba aku tinggalkan.

Aku mencoba melarikan diri. Dari stress yang aku lamai. Mencoba untuk menyendiri untuk menenangkan diri tapi ketenangan itu tak kunjung datang. Rasanya seperti berada di ujung terowongan butu yang gelap, pengap, juga bau. Tidak nyaman dan terus ingin merangsek keluar tetapi tidak tahu dimana jalan keluarnya.

Mau kembali pun tidak bisa karena tidak ada jalan untuk kembali.

Aku hanya bisa diam meratapi nasib. Bahkan saat ini aku sudah sama sekali tidak menangis.

Papa segera kembali setelah mendengar apa yang terjadi kepadaku. Mama dan papa setiap hari mengajakku untuk berkunjung ke psikiater untuk menjalani pengobatan. Awalnya tentu aku menolak. Aku merasa aku tidak memiliki gangguan apa pun. Aku hanya ingin bertemu dengan suamiku saja.

Mulutku terus tertutup. Aku mencoba melawan dengan mengacuhkan mereka. Mendinginkan kedua orang tuaku tanpa berkata satu kata pun. Aku sungguh ingin berteriak kencang tapi aku tidak tahu caranya. Aku terus menahan semua yang aku rasakan karena terakhir kali aku mengeluarkan tantrum sesuatu yang berharga, jauh lebih berharga dari nyawaku sendiri pun, pergi meninggalkanku.

Semua akibat kecerobohanku. Sejak saat itu aku memilih bungkam dan diam.

Hingga akhirnya, mama mertua juga papa mertuaku datang berkunjung. Kami bertiga berbicara. Papa mertua tak banyak berbicara. Pria itu hanya bisa melihatku drai jauh. Entah apa yang dipikirkan oleh pria itu. Aku tidak ingin bertanya apa yang terjadi kepada Mas Aji. Meski pun aku tahu papa metruaku itu pasti tahu semua yang terjadi. Tentang kapal ekspedisi yang tenggelam itu.

Aku dan mama mertuaku saling bertatapan. Kulihat mata bengkaknya. Wanita itu pasti menangis setiap hari dan menguatkan diri untuk terbang menuju kota ini hanya menemuiku. Aku melihat salah satu berita yang menampakan wajah mama mertua yang tidak ingin diwawancarai terkait putranya.

Mama mertua menguatkanku. Ia kembali membujukku untuk berkunjung ke dokter. Aku sempat menolak tapi mama berkata, “Qia, kalau kamu memang sayang sama Aji. Menjadi seperti ini bukan caranya. Bangkit dan menghadap Tuhan segera agar kamu bisa berdoa. Mendoakan diri kamu juga berdoa untuk suamimu. Kita sudah tidak bisa melakukan pertolongan apa pun saat ni. Papa mertuamu sedang mengerahkan pasukan lain untuk mencari mereka semua, yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa. Kalau kamu seperti ini terus dan nggak mendoakan Aji. Aji akan sedih, Qia ….”

“Tapi, Ma …”

“Mama tahu kamu kehilangan banyak hal. Tapi kamu masih punya kita. Kamu punya mama dan papa juga kedua orang tuamu. Kami juga sayang sama kamu. Kami juga sedih jika kamu terus seperti ini. Kami rinu senyum ceriamu yang cantik.”

Untuk pertama kalinya, sejak kabar kehilangan, aku kembali menangis di pelukan mertuaku. Bukan hanya aku yang kehilangan. Mama mertuaku juga kehilangan. Putra satu-satunya yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang juga meninggalkannya. Pasti ini juga sulit untuk dilewati.

Dan malam itu juga, aku kembali menghampiri mama juga papa. Menyetujui ajakan mereka untuk ke psikiater. Aku mendapatkan banyak bantuan. Perlahan … sedikit demi sedikit aku kembali menemukan makna hidupku. Bukan proses yang singkat karena kerap beberapa kali aku masih mendapatkan mimpi buruk. Tapi setidaknya … aku bisa lebih mengolah emosiku sekarang.

Aku menoleh ke arah kalender dan menemukan tanda merah yang aku lingkari. Kututup buku jurnal yang kubuat sejak beberapa bulan terakhir atas pantauan psikolog yang menanganiku. Aku mengambil jaket juga tas dari lemari kemudian berlari menuruni anak tangga.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang