Chapter 6

161K 14.2K 520
                                    

Aku mengecek ponselku secara berkala. Dosen tengah menjelaskan materi yang sudah kubaca sedari tadi malam. Sudah dua hari setelah aku berbicara dengan Aji dan menyetujui perjodohan kami tapi dua hari ini juga tak ada kabar apapun dari pria itu ataupun kabar dari yang lain. Aku mengingat bagaimana jahatnya aku kepada papa. Setelah kuingat-ingat lagi, rasanya kata-kataku sangat menyakitkan. Dan aku bingung bagaimana cara meminta maaf.

Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Aku dan papa berbagi gen yang sama. Sama-sama keras kepalanya. Papa dan ideologi kebahagiaannya juga aku dengan kebahagiaan versiku sendiri. Berkali-kali aku menulis pesan kemudian kuhapus lagi karena rasanya canggung sekali. Setiap kami bertengkar selalu saja papa yang meminta maaf duluan dan itu tak pernah kami bertengkar lebih dari sehari.

Saat kelas berakhir aku menyalakan motorku kemudian pulang ke apartemen. Pertengkaranku dengan papa masih terngiang di kepalaku. Shit. Kalau begini terus aku bisa mati jadi anak durhaka. Aku kembali mengenakan kemudian kuambil kunci motor yang kulempar sembarangan.

Saat kubuka pintu apartemenku ternyata di depan sudah berdiri papa seorang diri membuatku bingung harus bertingkah seperti apa. Papa juga terlihat berdiri dengan canggung, terlihat dari tangan kanannya yang menggaruk pelipisnya dan ujung kakinya yang mengetuk lantai.

"Pa-papa datang sendiri? Mama dimana?"

"Um ... mamamu sedang mampir ke minimarket di bawah."

"Oh ..." Aku melihat satu kantong berisikan buah yang dibawa oleh papa. "Masuk, Pa. Tungggu mama di dalam aja."

"Oh ... iya-iya ...."

Asli, ini canggung banget. Papa menyerahkan kantong kresek berisikan buah yang dibawanya kepadaku. Aku pun segera mencuci buah-buah apel itu lalu dikupas sebagian. Kulihat papa sedang duduk sambil bermain hp. Jam satu siang begini seharusnya masih masuk jam kerja kenapa sudah keluar berpakaian bebas? Ah, aku tahu, papa mungkin mendapat kabar kalau aku sudah menerima perjodohan dari Aji.

Aku kembali ke ruang tamu. Kuletakkan piring berisikan potongan apel di atas meja dan ikut duduk bergabung di sofa. Telinga jelas mendengar suara napas panjang yang baru saja papa hembuskan. Kunyalakan televisi untuk mengisi keheningan antara kami.

"Kamu mau keluar ya tadi? Mau cari makan?"

"Enggak, Pa. Sudah makan di kampus."

"Oh..."

Suasana kembali hening dan aku kini tengah berpikir keras bagaimana caranya mengangkat topik perjodohan yang sempat menjadi sumber keributan kami beberapa hari lalu.

"Tentang perjodohan ...."

"Tentang perjodohan ...." ujarku bebarengan dengan papa yang juga mau berbicara. Aku dan papa saling bertatapan untuk sesaat. Aku berdehem begitu juga papa yang kulihat kembali menggaruk pelipisnya. Itu adalah salah satu gerakan unik yang selalu papa lakukan secara tak sadar setiap kali tengah gugup.

"Papa dulu saja," kataku.

"Oh itu ... um ... tadi pagi papa kebetulan ketemu Aji setelah apel pagi. Katanya ... katanya kamu terima lamaran dia?" tanya papa pelan-pelan membuatku merasa bersalah sudah meninggikan suaraku saat itu hingga papa sampai takut mengangkat topik itu kepadaku.

"I-iya, Pa."

"Oh...."

Lagi-lagi keheningan menguasai kami. Telunjukku mengetuk remot berkali-kali menanti pertanyaan papa selanjutnya. Tentu saja papa akan bertanya alasanku kan? Dan aku sudah mempersiapkan jawaban yang jujur. Aku sudah melatih ini tadi malam. Berbicara tanpa meninggikan suara dan mencoba saling berkompromi. Semakin lama aku menunggu semakin gugup aku dibuatnya namun papa tak kunjung bertanya.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang