Mataku terbuka saat kurasa sepasang kaki kecil menginjak punggungku. Kulihat jade yang melompat keluar kamar dan mendesah pelan. Jam dinding kamar menunjukkan pukul lima sore yang artinya aku ketiduran satu setengah jam. Dari heningnya suasana rumah, aku tahu kalau Mas Aji belum pulang.
Setelah mandi sore aku melihat kulkas untuk menyiapkan makan malam. Hanya seekor ayam yang sudah dipotong dan seikat kangkung. Sepertinya aku butuh mampir ke supermarket untuk mengisi kekosongan kulkas kami. Aku pun menyiapkan sebuah menu sederhana.
Setelah makanan telah siap, aku memutuskan untuk menyirami tanaman di halaman rumah, dari semua jenis tanaman yang ada sama sekali tidak ada yang berbunga hanya tanaman hijau dengan berbagai jenis bentuk dan ukuran, pohon mangga di halaman belakang rumah juga sangat besar, jika sudah musimnya pasti akan berbuah banyak. Hmmm, membayangkannya saja sudah membuatku mengeluarkan air liur.
Sambil menyirami tanaman dengan selang di tangan, aku mulai memperhatikan komplek perumahaan ini dengan detail. Rumah dinasnya Mas Aji bisa dibilang berada di pojokkan kompleks. Tak jauh dari rumah kami ada lapangan rumput kosong yang biasanya digunakan anak-anak atau remaja sini bermain futsal. Aku bisa membayangkan suasana normal yakni anak-anak kecil yang melakukan balap sepeda dengan teman-teman mereka di depan rumah kami tapi anehnya sore itu suasana kompleks terbilang sangat sepi. Bahkan tetangga syaiton rumah sebelah pun tak menunjukan batang hidungnya.
Dari kejauhan aku bisa melihat Mas Aji dengan motor matic-nya. Aku mematikan air kran dan merapikan selang yang kugunakan barusan. Melihatnya berboncengan dengan Mas Yusuf kenapa terlihat sangat imut sekali? Aku menahan diri itu tidak tersenyum lebar saat ia memasukkan motornya ke halaman rumah.
"Mas Aji!" panggilku mendekat.
"Ada apa?"
"Sudah makan belum? Aku sudah masak," ucapku dengan suara yang lebih keras. kulirik rumah sebelah dan muncullah Mara yang juga tengah melirik ke arah rumahku. Aku segera menggandeng Mas Aji dengan mesra membuat pria itu mengerutkan alisnya. Setelah di dalam rumah aku langsung melepaskan gandenganku dari tangannya.
"Mas Aji, aku mau tanya, deh. Mara sama Mas Yusuf menikah sejak kapan? Kenapa? Mereka juga dijodohkan? Atau Asmara hamil di luar nikah?" Tanpa menunggu Mas Aji melepaskan sepatu PDL-nya aku terus memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan yang membuatku penasaran sejak kedatangan Mara dan mas Yusuf tadi siang.
"Tanyanya kok begitu? Katanya tadi siang kalian teman sejak SMP."
Aku berdecak kesal saat Mas Aji menyebut kami berteman, "Ugh, seandainya di dunia ini aku bisa memilih siapa tetanggaku maka Mara adalah orang terakhir yang aku inginkan."
"Kenapa?" tanyanya. Aku mengekor pria itu ke arah meja makan.
"Ribet untuk diceritakan, pokoknya Mas Aji terima jadi aja intinya aku sama Mara nggak bisa saling jadi tetangga yang baik. Mungkin Mas Yusuf bisa tapi Mara nggak."
Mas Aji duduk di salah satu kursi dekat meja makan. Wajahnya terlihat kelelahan membuatku berhenti berbicara. Sesekali ia menutup matanya erat seperti menahan sakit. Tangannya terangkat untuk memijat pelipis. Semua gerakan itu tak lepas dari perhatianku. Karena ia terlihat sakit, aku memutuskan untuk duduk mendekat.
"Kamu sakit, Mas?" tanyaku menarik tangannya agar ia berhenti memijat pelipisnya sendiri.
"Pusing biasa, nanti juga hilang."
"Meskipun pusing kecil jangan dibiarkan, baru aja kita nikah kemarin kamu sudah sakit aja. Apa kata tetangga? Nanti dikiranya aku nyiksa kamu. Tunggu di sini jangan banyak gerak."
Aku menggeleng tak percaya, bagaimana bisa ia sampai sakit kepala seperti itu? Kuambil sepiring nasi agar Mas Aji bisa minum obat setelah makan. Kutinggalkan pria itu sendirian saat makan. Aku kembali beranjak ke dapur untuk memeriksa kotak obat yang terletak di atas kulkas. Terdapat beberapa jenis obat generic yang biasa ditemukan di apotek. Aku menyobek sebuah kaplet obat pereda nyeri dan kuletakkan dekat piring makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suck It and See (Complete)
RomanceQia dijodohkan dengan Aji, seorang tentara angkatan darat yang sifatnya sungguh berkebalikan dengannya. Meskipun dituntut untuk segera beradaptasi dalam menjalankan peran barunya, gadis itu pantang menyerah dalam mempertahankan kebebasannya. *** Men...