Chapter 41

112K 11.3K 1K
                                    

"Qia," panggil Aji.

Pria itu memberanikan diri untuk untuk mengambil tangan Qia. Tentu saja hal itu membuat Qia terkejut dan akan melepaskan tangannya tetapi Aji sudah menggenggamnya lebih erat.

"Sebentar lagi akan pagi. Kamu akan sibuk seharian. Saya boleh minta waktu kamu untuk tiga puluh menit saja. Saya rasa ini waktunya untuk berbicara dengan serius."

Qia yang awalnya ingin menolak pun merilekskan tubuhnya. membiarkan Aji membawanya berjalan jauh menuju pantai yang masih kotor akan sisa puing-puing sampah bencana. Langit hitam berubah perlahan menjadi ungu tanda matahari sebentar lagi akan terbit.

Aji duduk di sebuah batang pohon kelapa yang roboh. Menghirup udara pagi yang teramat segar. Pria itu tengah mempersiapkan diri untuk memberitahu semua yang terjadi kepada istrinya itu.

Di keheningan waktu yang berubah menjadi malam menuju pagi, Aji pun membuka mulutnya. Menceritakan semua apa yang ia lalui dari sudut pandangnya. Mulut Qia sedikit terbuka. Entah sihir siapa yang tengah menyihirnya kini tetapi Qia tidak bisa memotong ucapan Aji sedikit pun.

Matanya menelaah setiap sisi wajah Aji untuk meyakinkan dirinya bahwa semua yang tengah Aji jelaskan adalah sebuah kebohongan. Dan hal yang membuatnya menderita bukanlah pria di depannya saat ini melainkan kelalaianya juga miskomunikasi yang terjadi antara dirinya, Aji juga ... kedua papa mereka.

"Saya juga tidak ingin seperti ini. Tapi ini tugas, saya tidak bisa berkata tidak. Saya diberi makan, rumah, pakaian oleh negara dan hal terakhir yang bisa saya lakukan adalah mematuhi perintah negara. Setiap makanan yang saya makan adalah uang orang-orang yang mungkin terjebak di konflik antara kedua negara kemarin, pakaian yang saya beli juga mungkin menggunakan uang mereka, rumah yang dibangun sama instansi juga mungkin menggunakan uang mereka, Qia. Saya akan berdosa dan berhutang kepada mereka jika saya hanya menikmati apa yang mereka berikan tanpa membalas dan menolong mereka."

"Qia, setelah kita pulang nanti. Ayo kita bicara dengan papa kita masing-masing. Mengapa mereka tidak memberitahu kamu apa yang terjadi karena yang saya tahu semua keluarga anggota pasti diberitahu. Yang saya yakini, doa yang kalian panjatkan adalah sebuah rekayasa agar berita ini tersebut lebih meyakinkan."

Qia tak tahu harus menjawab apa. Semua yang dikatakan oleh Aji terdengar tidak masuk akal sama sekali. Namun hatinya yang membantu perlahan terkikis. Sedikit demi sedikit.

Qia mengalihkan wajahnya. Mencoba menahan tangis agar air matanya tidak tumpah. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Aji.

Aji mendekatkan dirinya dan menarik tubuh Qia dengan lembut. Qia tak menolak. Ia hanya pasrah ketika Aji membawanya ke dalam sebuah pelukan. Qia menggeleng. Saat sulit membenci pria itu. Qia ingin meluapkan amarahnya kepada Aji tetapi angannya hanya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya.

"Izinkan saya berusaha untuk melunakkanmu kembali, Qia. Dulu kamu terus yang berjuang dan izinkan saya juga kini memperjuangkanmu."

Qia hanya diam tak membalas. Wanita itu mendorong tubuh Aji untuk menjauh. Qia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Ia menatap Aji yang masih duduk di atas batang pohon yang roboh. Cahaya matahari pagi yang cerah perlahan menyinari wajahnya. Tak ada ekspresi ceria. Hanya ada kesenduan di sana.

"Aku nggak tahu. Aku udah terlalu capek dengan semua ini. Aku mau fokus untuk diriku sendiri."

Aji mengangguk mengerti. Pria itu ikut berdiri dan memegangi tangan Qia untuk digenggam pelan.

"Kamu ingat nggak sama apa yang saya ucapin ketika kita pulang dari pernikahan teman-temanmu? Ketika kita pulang kehujanan karena kita nggak bawa jas hujan kita beristirahat sebentar di sebuah toko yang tutup."

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang