Chapter 20

132K 13.5K 787
                                    

Hai! Jangan lupa vote dan komennya ya bestie karena jejak kalian sangat berharga ❤

*

Aku mencoba menganalisa apa yang sedang terjadi saat pintu rumahku terbuka dari dalam dan keluarlah beberapa pemuda yang tak kukenal. Tiga orang tersebut segera membantu menggotong Mas Aji bangun dari atas tanah.

"Mas Aji" panggilku.

Mas Yusuf dan Mara juga muncul. Aku masih terlalu bingung dengan semua yang terjadi. Aku mendengar Ma Yusuf menyuruh salah seorang pemuda untuk memanggil tukang urut di daerah sini. Mara menarikku untuk masuk ke dalam rumah.

Kulihat sekeliling rumahku dan sama sekali tak ada yang berubah. Lalu apa yang sedang mereka lakukan malam-malam tanpa menyalakan lampu satu pun? Aku yang panik duduk di samping kakinya Mas Aji yang tidur tengkurap di atas sofa. Aku membiarkan Mas Yusuf memberikan pertolongan pertama pada Mas Aji seperti menarik tangan dan memeriksa apakah ada yang keseleo atau bagaimana.

Salah satu pemuda yang disuruh panggil tukang urut kembali bersama seorang pria berumur dengan janggut yang mulai memutih. Pasti pria itu adalah tukang urut yang dimaksud Mas Yusuf. Aku pun bangkit dan membiarkan tukang urut tersebut memeriksa punggung Mas Aji. Mas Aji meraih tanganku untuk digenggamnya erat kala punggungnya ditekan lebih keras. Otomatis aku membalas genggamannya ketika suamiku meringis lebih keras kesakitan.

"Nggak apa-apa. Ini urat yang sebelahnya cuma tegang dikit."

"Ack!"

Napasku tercekat saat Mas Aji menggenggam tanganku lebih keras. Semua orang melihat Mas Aji dengan tatapan sedih. Ini semua salahku. Seandainya aku tidak terlalu takut, aku bisa lebih tenang untuk menoleh sebentar hanya untuk melihat siapa yang memanggil namaku.

Nggak bisa! Ini juga ada salahnya Mas Aji! Siapa suruh ninggalin rumah sembarangan ke orang yang nggak dikenal terus lampunya pake nggak dinyalakan segala? Aku kan mengikuti instingku untuk mencurigai adanya bahaya. Ingin sekali rasanya mengomelinya seperti biasa, tapi melihat wajahnya yang kesakitan justru buat aku nggak tega. Sesekali saat Mas Aji meringis lebih keras, tanganku yang tak digenggamnya, mengelus kepalanya agar bisa tenang.

Setelah beberapa menit memijat di tempat yang sama, Tukang urut tadi membantu Mas Aji menggerak-gerakkan tangannya perlahan. Meskipun awalnya terlihat kesakitan tapi sepertinya sudah lebih baik karena Mas Aji bisa kembali duduk tegak. Setelah memastikan tidak ada bagian yang sakit lagi, aku mengantar tukang urut tersebut ke depan rumah.

Setelah menutup kembali pintu aku kembali ke ruang tamu. Di sana duduk tiga orang baru selain Mara dan Mas Aji.

"Mas Aji dimana?" tanyaku.

"Ke kamar, ganti baju katanya," jawab Mara.

Aku duduk di saalh satu sofa dengan canggung. Baik Mara maupun Mas Yusuf juga tak mencoba mencairkan suasana hening tersebut. Aku pun memilih memperhatikan tiga anak baru di depanku. Dilihat dari pangkatnya satu orang yang memanggil tukang urut tadi masih anak Tamtama dan dua sisanya adalah Bintara. Kami duduk dalam keheningan hingga anak Tamtama tersebut berdehem. Ah, aku lupa menyambut tamuku sendiri.

"Oh iya, kalian mau minum apa? Biar saya ambilkan," ujarku.

"Izin, Tidak usah repot, Bu Kapten," kata seorang pemuda lainnya.

Tak mengindahkannya aku menuju dapur dan mengambil beberapa gelas. Anak tamtama tadi lari menyusulku. Ia berdiri di depan kulkas dengan canggung.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyaku.

"A-anu, Bu ... saya ... maksudnya biar saya saja yang ambilkan."

Mataku memicing dan menggeleng pelan, "Nggak boleh begitu, kalian kan tamu, biar saya ambilkan saja." Bukannya minggir anak tersebut justru menghalangiku membuka kulkas.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang