Chapter 39

109K 11.2K 517
                                    

Di ruang sempit mereka berdua terjebak oleh reruntuhan bangunan. Tak banyak ruang gerak bagi keduanya untuk meluruskan kaki. Qia mencoba untuk tidak panik melihat darah segar yang mengalir di kepala Aji. Suasana yang pengap panas membuat Qia semakin resah. Ia mencari celah untuk meminta tolong. Ia menemukan sebuah kayu balok yang mencuat. Jika ditarik pastilah akan membuat celah baru.

"Jangan," larang Aji. Telunjuknya mengarah ke tumpukan batu di atas balok kayu tersebut. "Kalau kamu tarik, batunya akan jatuh," jelasnya.

Qia segera menarik tangannya, merasa sia-sia, ia memilih duduk menjauh dari Aji. Namun sejauh apa pun Qia bergeser, tubuhnya masih akan tetap berada di antara kedua kaki Aj yang melindungi wanita itu dari reruntuhan bangunan.

Aji menatap sedih. Tanpa ia sadari, jemarinya kembali mengarah pada luka itu. Aji mengernyit membuat Qia tersadar. Tatapan mereka bertemu, tak ada yang ingin membuka percakapan. Setelah puas menyelami iris cokelat tersebut, Aji memberanikan diri menyandarkan kepalanya di pundak Qia. Tak ada perlawanan membuat pria itu menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Qia" panggilnya.

"Enggak. Aku nggak mau dengar alasan apa pun dari kamu."

"Maaf."

Untuk saat ini sepertinya hanya itu yang bisa Aji ucapkan.

"Tidak semudah itu untuk memaafkan," geram Qia.

"Saya paham."

Qia melepaskan sandaran kepala Aji dari pundaknya. Qia sebisa mungkin tidak menyentuh bagian luka milik Aji. Kini pakaian bagian pundaknya pun telah berubah warna menjadi merah.. Tatapannya kembali nanar, sekuat tenaga Qia menahan diri agar tidak menangis. "Kamu itu pria terjahat yang pernah aku temui." Aji tak menyangkal itu, lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa ia ungkapkan saat ini.

"Ijinkan saya memperbaikinya."

Qia mengusap wajahnya kemudian menggeleng. "Bagaimana? Dan apa yang ingin kamu perbaiki?"

"Sa-saya akan melakukan apa pun asalkan kamu bisa beri saya kesempatan kedua."

Untuk pertama kalinya Aji terbata ketika berbicara. Seorang Kapten Aji pun kehilangan kepercayaan dirinya. Ia ingin mencari sebuah benang tipis yang mungkin saja tersembunyi untuk mengikatnya lagi kepada Qia.

Qia menahan diri untuk tidak menampar mulut pria itu. Memangnya apa yang bisa itu perbaiki? Kesempatan kedua? Itu lah yang selama ini Qia inginkan ... tapi ketika dihadapkan rasanya sakit sekali.

"Aku sudah anggap kamu lama meninggal."

Aji terkesiap. Ia sangat ketakutan atas ucapan Qia. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba ebrair. Apakah ia menangis? Aji merasa skait. Tapi ia tidak ingin mengatakannya karena pria itu cukup sadar diri bahwa ini semua adalah konsekuensinya. Aji menghapus air matanya dalam diam, embuat darahnya yang perlahan mulai mengering di pipinya pun ikut belepotan di pipinya.

Qia menoleh ke belakang skilas dna melihat Aji yang menangis dalam diam. Sedalam apa pun penyesalan pria itu tak akan pernah menyembuhkan Qia seutuhnya. Namun karena memiliki sedikit rasa iba, Qia melepas manset tangannya yang berwarna putih untuk menahan luka milik Aji.

Kain putih yang bersih itu pun langsung berubah menjadi merah juga basah akan air mata milik Aji.

Qia memegangi manset tersebut dan Aji menangis di sana. Pria itu hanya bergumam meminta maaf. Reruntuhan yang menutupi jalan mereka keluar perlahan bergerak. Sepertinya regu penolong telah bergerak untuk menolong mereka.

Saat Qia ingin melepaskan tangannya dari kepala Aji, AJi emnahantangan Qia. Ia tidak ingin Qia melihat wajahnya yang tengah menangis.

"Aqilla ... saya sungguh minta maaf. Saya tidak pernah bisa tenang selama ini. Saya selalu memikirkan kamu. Saya selalu khawatir dan bertanya-tanya setiap malam apakah kamu baik-baik saja atau tidak. Saya ingin meminta maaf atas dosa saya ke kamu. Maaf sudah kamu berada di tempat tergelap dna saya tidak ada di sana untuk menolong kamu."

"Aqilla ... kalau pada akhirnya kamu ... tidak ingin memaafkan saya, saya akan menderita di sisa umur saya. Sa-saya sudah berjanji untuk menjagamu tapi saya lalai sebagai seorang suami. Saya minta maaf. Sungguh-sungguh-sungguh minta maaf. Bagaimana cara saya untuk menebus dosa ini, Qia?"

Memikirkan apa yang dilalui Qia tanpa dirinya membuat Aji sangat tersiksa. Rasanya jauh lebih sakit ketimbang terkena peluru lawan. Luka peluru itu menyisakan bekas luka tapi Aji sudah tak merasakan sakit tapi mengetahui apa yang terjadi kepada istrinya melukai hati Aji tanpa tersisa bekas luka namun rasa sakitnya sangat-sangat menyiksa pria itu.

Qia ingin mengatakan sesuatu ketika ia mendengar panggilan Axel juga Dimas dari luar. Ia pun mengurungkannya dan melepaskan genggaman Aji dari tangannya. Qia membalas sahutan Dimas memanggil orang di luar sana auntuk segera menyingkirkan reruntuhan dinding di depan mereka.

Tak butuh waktu lama untuk Dimas menemukan mereka. Qia ditarik perlahan oleh Axel meninggalkan Aji yang masih setia di tempatnya. Qia menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Aji. Pria itu masih duduk dengan menunduk. Ia hanya menyuruh Dimas menjauh dengan tangannya ketika Dimas bertanya apakah dirinya baik-baik saja.

Qia memberikan perhatian terakhir kemudian bergabung dengan relawan yang lain untuk memastikan dua temannya yang lain yang Qia ingat ikut beristirahat di dalam rumah selamat juga baik-baik saja.

Aji pun menyusul untuk menangani lukanya pada salah satu dokter di tempat.

Setelah beristirahat, semuanya disusul oleh mobil patroli untuk dibawa ke lokasi. Qia segera masuk tenda relawan untuk beristirahat. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari botol obatnya. Padahal belum satu hari ia berada di sini tapi sudah sangat melelahkan bagi mentalnya. Bayangan Aji yang meminta kesempatan kedua dengan penuh penyesalan membuatnya pening. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia menelan pil tersebut bernafas lega. Qia kembali bekerja bersama temannya.

Aji duduk di salah satu tenda untuk mendapatkan penanganan yang lebih karena kulit kepalanya ada yang sobek kecil akibat terbentur keras oleh puing-puing bangunan yang runtuh. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat dengan sangat jelas apa pun yang istrinya lakukan.

"Sulit ya untuk didekati lagi? Tanya Mara yang tiba-tiba muncul kemudian memberikan sepiring bubur untuk Aji.

"Asmara," sapa Aji dengan lesu.

Mara menoleh ke arah Qia yang tengah membantu para dokter memeriksa kondisi semua orang yang terdampak.

"Kita juga kesulitan waktu menolong anak itu. Sebenarnya semua ini slah ku. Coba saja waktu itu aku tidak panik mungkin Qia juga tidak panik sampai buat Qia harus berlari di anak tangga."

Aji mengernyit merasa tidak nyaman ketika membayangkan apa yang istrinya lalui.

Mara menjelaskan bagaimana Qia dulu sampai harus di hipnoterapi guna melupakan masa lalu, tapi syukurnya Qia adalah wanita yang kuat, dia tidak memilih melupakan masa lalu tapi memilih untuk berkoperasi dengan masa lalunya. "Setidaknya kamu harus bersyukur, Mas, kamu nggak dilupakan sepenuhnya oleh Qia." Mara memberikan selimut pada Aji sebelum berdiri meninggalkan tenda.

"Tapi saya tidak termaafkan."

Mara tersenyum simpul.

"Masa prajurit sudah kalah duluan sebelum berperang?" tanya Mara dengan menyindir pria itu.

Aji melihat Qia sekali lagi. Pria itu tersenyums impul ekmudian mengangguk. Dulu ... mereka dekat tanpa usaha. Selalu Qia berinisiatif, mungkin Aji harus membalas apa yang telah semua Qia lakukan untuknya. Ia harus lebih berinisiatif lagi untuk mendekatkan dirinya kembali kepada Qia.

Jangan lupa vote dan komen ^^

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang