34

979 170 34
                                    

"Aku bisa batalin kok Sya kalau emang kamu nggak suka. Aku nggak akan dateng sama Jaka," ucap Eca menyamakan langkah kakinya dengan Jesya.

Jesya berhenti, menoleh ke arah Eca. "Itu terserah lo Euchana, lo mau pergi sama siapa aja itu hak lo," jawab Jesya. "Yang bikin gue penasaran itu kenapa Jaka harus ngajakin lo? Dia punya rencana apa, makanya gue mau nyamperin tuh cowok."

"Dia udah beneran berubah Jeysa," ucap Eca menahan lengan sahabatnya. "Jaka yang sekarang bukan Jaka pas waktu SMA, dia udah bener bener berubah."

"Tau dari mana Ca? Cuma karna kebaikannya doang terus lo mau luluh lagi gitu? Ayolah Ca be smart, dia dulu udah jahat banget sama lo." Jesya menepis lengan Eca, gadis ini mendekat ke arah Eca. "Ca jangan stuck di satu orang, masih banyak cowok di luar sana yang bakal menghargai lo, mencintai lo dengan tulus."

"Aku juga pengen begitu Jesya, aku berusaha buat nggak suka sama Jaka lagi tapi aku bisa apa? Aku masih suka, aku masih seneng ada di deket Jaka," jawab Eca dengan jujur. "Setiap saat aku minta sama Tuhan biar hilangin semua tentang Jaka, aku berusaha nggak banyak interaksi sama Jaka, tapi anehnya kita makin hari makin deket Jesya, aku bingung."

Jesya diam, mendengarkan semua omongan Eca.

"Usaha aku kurang? Terus aku harus apa lagi? Kita sekampus, cowok temen aku temennya Jaka, mau nggak mau pasti ada kesempatan buat ketemu, aku harus ngapain lagi aku sendiri bingung." Eca menunduk merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Berbulan bulan ini dia membohongi diri dengan bilang kalau dia sudah tidak menaruh rasa kepada Jaka, tapi nyatanya dekat dengan Jaka membuat Eca merasa bahagia.

Sebut saja Eca bodoh, tolol atau apa, tapi jika Jesya ada di posisi Eca mungkin tidak semudah itu mengucapkannya. Hati dan pikiran Eca bertentangan, pikirannya ingin benar benar melupakan Jaka tapi hatinya tidak.

"Apa aku harus punya pacar dulu baru bisa ngelupain Jaka?" ucap Eca lirih. "T–tapi aku nggak bisa menggunakan seseorang untuk melupakan orang lain."

Deg

Mendengar ucapan Eca barusan jantung Jesya berdetak lebih cepat. Gadis cantik itu mengerjap mengigit bibir bawahnya gelisah, "aku nggak mau jadiin orang lain sebagai pelampiasan semua sakit yang aku rasain. Aku punya hati, dia juga punya hati, aku nggak mau saling menyakiti." Eca melanjutkan.

"Selama ini aku maksa buat lupain Jaka dan aku tau itu salah, nggak seharusnya aku maksa buat lupa tapi untuk merelakan juga aku belum bisa," kata Eca.

Rasanya Jesya tertampar dengan omongan Eca, kata setiap kata dari mulut sahabatnya ini sangat menggambarkan diri Jesya.

Setiap saat ketika dia sedang bersama Megan sampai saat ini dia merasakan senang dan aman, tapi selalu perasaan itu Jesya buang dan pendam sendiri. Sebagai gantinya Jesya selalu sinis, marah marah dan memperlakukan Megan layaknya musuh bebuyutannya.

Apakah sesungguhnya Jesya belum bisa melupakan Megan? Dan bagaimana perasaannya terhadap Jakarta selama ini, apa bisa dalam satu waktu mencintai dua orang yang berbeda.

Jesya pening dibuatnya.

"Jesya? Kok malah kamu ngelamun, kamu dengerin omongan aku kan?" Ujar Eca menggoyangkan lengan Jesya, gadis itu tersentak kaget. "Hm? Apa Ca, iya..iya.." jawab Jesya.

"Itu kan lo mau datang sama Jaka kan? Ya, dateng aja Ca gapapa, gue mau nyari Jakarta dulu ngajak dia pulang." Jesya berjalan berlawanan arah dari tujuannya semula. Sementara Eca langsung menatap aneh kepada sahabatnya itu, Jesya terlihat bingung sendiri berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang dan menggaruk kepala belakangnya.

Jesya juga bingung dengan dirinya, seharusnya dia mendatangi Jaka tapi kenapa tiba tiba keinginannya untuk melabrak cowok itu sirna. Pikiran Jesya kosong seketika, dia berjalan tanpa tau tujuannya hendak kemana.

Hello, Jaka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang