55

1K 173 53
                                    

"Katanya capek, sini." Jaka menepuk tempat di sampingnya, kode agar Eca duduk.

Gadis cantik itu menghela napas dan segera duduk di sana. Keinginannya untuk ke Zen hideaway harus sirna sudah dan lebih sialnya kini mereka berdua terjebak hujan berangin di sebuah gubuk tua dekat pesawahan. Tidak ada orang, hanya ada Eca dan Jaka untung akses internet masih bisa dijangkau jika tidak entahlah bagaimana nasib mereka.

"Tadi tempatnya gimana? Bagus nggak?" Tanya Jaka.

Eca mengangguk, tempat yang mereka datangi tadi memang cukup bagus dan yang menjadi nilai plus adalah makanan disana enak enak mana murah lagi.

"Makanya kalau gue ajak tuh manut aja," sahut Jaka.

"Tapi kan aku masih pengen ke Zen Hideaway."

"Iya, iya, tahun depan gue temenin ke sana," kata Jaka sambil menoleh membuat Eca juga ikutan menoleh, "kalau kita udah resmi pacaran sih," lanjut pemuda itu.

Setelah mengatakan itu Jaka kembali menatap lurus ke hamparan sawah dan tertawa.

"Haduh emang ya jalan hidup nggak bisa ketebak. Dulu lo yang mati matian ngejar gue sekarang gue yang balik ngejar ngejar lo," ungkap Jaka sambil merebahkan dirinya.

Eca tersenyum kecil, "makanya kalau benci sama orang jangan keterlaluan kena karma itu."

"Tapi gue nggak pernah benci sama lo."

"Hm?" Eca menoleh menatap ke Jaka. "Jelas jelas kamu benci sama aku, sampe sampe makanan aku selalu berakhir di tempat sampah kan? Kamu juga yang nyuruh temen temen cewek kamu buat bully aku."

Jaka diam.

"Nggak itu aja, kamu juga selalu ngatain aku cewek jelek, gendut, bau, semua anak di sekolah sampai nggak mau temenan sama aku. Seandainya waktu itu aku nggak ditolongin sama Jesya, mungkin aku beneran udah pindah dari sekolah itu."

Eca sebenarnya enggan untuk mengingat ingat masa lalu kembali, tapi entah kenapa ingatan itu terlintas lagi. Bagaimana dulu tindakan bulian yang dia dapatkan dari teman teman Jaka sampai sampai membuat Eca stress dan berpikir hendak mengakhiri hidupnya sendiri.

"Jujur aja ketemu kamu di kampus itu juga kebetulan, setelah lulus SMA aku emang punya niat untuk nggak berurusan sama kamu dan temen temen kamu lagi tapi ternyata malah berakhir begini, lucu banget." Eca menunduk menatap kakinya yang tergantung di sisi gubuk itu. "Tapi ya udah it–"

Eca menghentikan omongannya ketika Jaka tiba tiba menarik tubuhnya, memeluk Eca dengan erat.

"Maaf Ca, gue jadi bagian buruk di hidup lo," ucap Jaka. "Waktu itu gue tau kalau temen temen gue buli lo karna lo suka sama gue, tapi gue nutup mata dan nggak peduli sama sekali sampai hari di mana Jesya dateng dan nonjokin gue, dia bilang kalau gue udah jadi pembunuh karna lo nekat mau bunuh diri karna nggak kuat sama bulian yang lo terima waktu itu."

"Hari itu juga gue sadar kalau bukan lo yang gue benci, melainkan hidup gue sendiri," lanjut Jaka. "Ibu gue sakit dan di sisi lain bokap selingkuh sama nyokap tiri gue sekarang dan sialnya wajah lo selalu mengingatkan gue sama perempuan selingkuhan Papa."

"Mungkin kata maaf gue ini udah terlalu basi, tapi untuk kesekian kalinya gue beneran mau minta maaf sama lo Ca, cuma ini yang bisa gue lakuin. Gue nggak minta lo supaya terima cinta gue, nggak tapi setidaknya untuk hari hari ke depan biarkan gue jadi bagian kenangan indah di hidup lo," ujar Jaka. "Gue nggak bisa janji banyak tapi gue bakalan buat semua temen temen gue yang nyakitin lo waktu itu minta maaf ke lo."

Eca membeku di dalam pelukan Jaka. Mengingat kejadian pembullian beberapa tahun lalu masih terasa sakit di hatinya, apalagi para pelakunya sampai saat ini tidak meminta maaf dan bisa terus tertawa dengan senangnya. Tanpa sadar air mata gadis ini menetes, Eca membalas pelukan Jaka dan menangis tersedu.

Hello, Jaka! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang