Part 1 (Upgrade)

180 42 23
                                    

Bali

Jelita POV

Keberadaannya seolah spidol permanen yang mencoretkan tanda pada whiteboard kehidupanku. Simbol yang tak kunjung hilang walaupun waktu selalu melewatiku serupa penghapus. Memaksaku untuk melirik simbol itu sesekali, melalui sudut mata dan menggalinya kembali dalam kehidupan nyata.

Setelah menekan pulpen pada buku harianku, kubaca kembali tulisan yang tampak sentimental itu dalam pikiran. Mengutip istilah masa kini, mungkin benar aku sedang mellow. Situasinya mendukung maka jangan salahkan diriku sepenuhnya.

Kereta yang akan mengantarkanku ke Bandung mulai menawarkan keheningan di malam hari, hanya sesekali terdengar obrolan dua remaja yang sudah bersamaku dalam perjalanan ini sejak keberangkatan, aku memerhatikan keduanya semenjak mereka berusaha untuk menaikkan koper berukuran jumbo keatas bagasi. Obrolan keduanya terus kekanak-kanakan mereka terdengar nyaring, kemudian menelan ketika salah satunya mendesis meminta yang lainnya untuk diam.

Kusandarkan kepala ke dinding besi, jendela hanya menawarkan kegelapan yang mengundang mata untuk memandangnya lekat-lekat. Hingga dahi dan hidung menekuk menempel pada kaca. Jika diperhatikan, memang tidak ada yang menarik dari perjalanan kereta di malam hari, kecuali ketika melewati zona pembangkit listrik yang menawarkan kerlip lampu dalam jumlah yang tidak mudah untuk dihitung.

Saat-saat seperti inilah saat yang paling tepat untuk mengingat masa lalu, terlebih ketika beberapa orang sudah terlelap dan tidak ada penumpang di sebelahmu yang bisa diajak berbasa-basi, entah bagiku di sebelahku memang kosong atau akan diisi seseorang di stasiun berikutnya.

"Kau tersenyum terus daritadi. Dari siapa?"

Suara salah seorang remaja penghuni kursi depan menarik perhatianku untuk sekedar mencuri dengar, hitung-hitung mengisi waktu luang.

"Yha dari si itu."

Kuanggukan kepala sambil melipat tangan di depan dada, itu yang dimaksud jelas seseorang yang special. Karena diucapkan dengan nada yang sedikit dipanjangkan dan mengundang sorakan lain dari temannya. Telingaku masih mendengarkan dengan seksama ketika obrolan  mereka berlanjut tentang bagaimana hubungan si itu dan si teman yang diajak bicara. Lalu si teman yang tadi menerima sesuatu dari si itu, entah pesan atau telepon, menceritakan kegalauan menghadapi hubungan yang mulai tidak jelas ke mana arahnya. Apakah perlu meneruskan hubungan, jika akhrinya mereka harus menjalani LDR.

"Dia ingin pindah kuliah di luar negeri. aku tidak setuju. LDR kan susah. Mana aku tahu, dia akan setia atau tidak."

Kutunjukkan simpati melalui anggukan kepala. Sebagai wanita yang beberapa kali gagal menjalankan hubungan jarak jauh, aku jelas mengerti keraguan macam apa yang muncul di pikiran penumpang bangku di depanku. Semacam pertanyaan 'apakah hubungan ini pantas untuk diperjuangkan sampai melewati jarak. Seberapa lamakah akan bertahan terhempas komunikasi yang hanya sebatas pesan teks atau telepon dan godaan orang-orang baru yang bisa menjadi lebih menarik?'

"Dicoba dulu, kalau memang tidak bisa menjalankannya nanti juga putus."

Mencibir, kuejek pernyataan itu dalam hati. Benar-benar mudah sekali mengatakannya, mereka masih muda. Bahkan baru mencapai kepala dua. Putus sekali dua kali jelas bukan masalah. Reflek kuusap dahi yang terasa sedikit berminyak, tersenyum getir pada diri sendiri. Di usia seperti ini pernyataan itu bagaikan saran yang tak bertanggung jawab.

"Iya, aku juga berpikir begitu. kamu sendiri gimana? Kamu tidak segera meresmikan hubunganmu dengannya?"

Hening. Beberapa detik tidak ada suara dari penghuni kursi depan, sampai aku selesai mengusap oil face paper ke dahi dan pipi. Telingaku terus waspada menunggu jawaban yang kemudian datang dengan sedikit nada sendu.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang