Part 9 (Upgrade)

56 23 12
                                    

Jakarta, 2018

Jelita POV

Dua hari sudah aku terbaring lemah di tempat tidur ditemani pusing yang tidak juga pergi. Dua hari sudah aku tidak ke kantor dan membiarkan pekerjaanku menumpuk begitu saja. Dua hari sudah aku nyaris tidak berkomunikasi dengan Angga karena dia tetap pulang malam meskipun kondisiku seperti ini. dan dua hari sudah sejak aku menggunakan testpack itu.

You wanna know the result? It's positive, yes, I'm pregnant. Dan sekarang aku bingung. Aku bahkan tidak tahu ini berita baik atau berita buruk. Aku belum menyampaikan berita kehamilan ini ke siapapun. Belum ke keluargaku, mertuaku juga Eryin. Bagiku, Angga berhak menjadi orang yang paling pertama tahu hal ini.

Masalahnya, sampai detik ini aku masih belum berani menyampaikan berita ini ke Angga karena aku tahu dia tidak menginginkan kehamilan ini. dia selalu bilang kalau dia belum siap jadi ayah. Ya, dia belum siap untuk punya anak. Aku sama sekali tidak bisa menebak bagaimana reaksinya saat dia tahu tentang hal ini. kemungkinan dia akan senang mendengar berita ini sepertinya sangat kecil. Tapi kalaupun dia tidak senang, memang dia mau apa. aku sudah terlanjur hamil.

Berbagai scenario berputar di kepalaku tentang apa yang kira-kira akan dilakukan Angga. Mungkin saja dia ternyata gembira luar biasa setelah menerima kabar ini, dia akan memanjakanku habis-habisan karena aku sedang mengandung anaknya, buah hati kami. Lebih baik lagi kalau setelah ini dia tidak pulang malam lagi karena ingin menjagaku.

Tapi, bagaimana kalau dia memintaku menggugurkan kandungan ini? Angga adalah orang yang well organized. Dia bisa melakukan apa saja agar semua kembali sesuai rencananya. But no, kalau dia memintaku melakukan hal itu, aku tidak akan menurutinya. Janin ini sudah ada di rahimku. Aku tahu dia sedang tumbuh sekarang. Aku tidak akan menjadi pembunuh anakku sendiri! Dan kalau dia sampai tidak bisa menghargai keputusanku untuk mempertahankan kandunganku, aku lebih baik berpisah dengannya. Ya, keputusanku sudah bulat.

Terdengar suara kunci pintu depan apartemen dibuka. Akhirnya Angga pulang juga. aku melirik jam dinding, sudah pukul satu malam. Jadi dia selalu pulang jam segini sedangkan setiap pagi dia berangkat sama paginya denganku? Dari mana dia bisa mendapatkan energy sebanyak itu?

"Kamu belum tidur?" tanya Angga ketika masuk kamar dan menemukanku masih memegang majalah di tempat tidur.

"Belum," jawabku singkat. Aku menatapnya. Dari raut wajahnya, aku tahu dia masih malas bicara denganku. Atau mungkin dengan semua orang. Wajahnya begitu lelah. Kasihan. Ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan berita kehamilanku. I know, tapi kapan lagi pagi-pagi di tengah ibu kota bukan ide yang bagus juga, kan? Cepat atau lambat Angga harus tahu. Dan aku tidak mungkin menundanya sampai perutku membesar, kan? Baiklah, aku harus mengatakannya sekarang. Detik ini juga.

"Ada yang perlu aku bicarakan," kataku sambil mengumpulkan semua keberanianku.

"Harus sekarang? Aku lelah, Jelita." Kata Angga sambil membuka kancing kemejanya.

Aku mengangguk, Angga duduk di pinggir tempat tidur.

"Ada apa? mau membahas tentang calon klien kamu yang notabene mantan pacar kamu itu?" katanya sinis.

Astaga, mas. Bahkan di saat kelelahan pun kamu masih bisa sinis sama aku?

Aku menggelengkan kepalaku, "Ini jauh lebih penting daripada cemburu butamu itu!"

"Aku tidak cemburu!"

"Ok, hanya posesif!"

"Jelita, aku sangat lelah sekarang. Kalau kamu hanya mau mencari masalah, ditunda besok-besok saja ya," Angga bangkit dari tempat tidur.

"Sorry," aku segera menarik tangan Angga, "tentang mantan aku itu, aku sudah minta ke atasanku agar proyek baruku di handle orang lain. Jadi masalah itu sudah selesai."

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang