Part 43

40 6 0
                                    

Bucheon, 2025

-Joy POV-

Beberapa hari ini aku selalu menolak ajakan Sungjae untuk bertemu. Dan itu ternyata menjadi hari-hari paling membingungkan sepanjang hidupku. Sungjae memang mengikuti keinginanku untuk menjadi teman dengan bersikap sopan dan ramah, tapi tetap menjaga jarak. Awalnya aku memang merasa agak aneh menemukan Sungjae sudah berada di depan apartemenku setiap kali aku pulang kerja, tapi lambat-laun, aku mulai terbiasa dengan itu.

Sungjae masih mencium keningku setiap kali bertemu, tapi selalu sekilas saja. Seakan dia melakukannya hanya karena kebiasaan, bukan karena mau. Dia masih menatapku kalau berbicara dengannya, tapi tatapannya itu kini terlihat kosong, tanpa emosi. Sejujurnya Sungjae terlihat agak sedikit cuek terhadapku. Dan aku menemukan diriku merindukan Sungjae yang dulu. Sungjae yang bisa membuatku merasa terbakar hanya dengan tatapannya, yang akan menciumku seakan dia bisa mati jika tidak melakukannya, yang tidak malu-malu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Aku tahu tidak seharusnya aku merasa seperti ini, terutama setelah mengatakan kepadanya bahwa inilah yang aku inginkan. Aku seharusnya merasa lega karena Sungjae tidak lagi menggangguku, dengan begitu kami sama-sama bisa move-on dari masa lalu kami.

Tapi bagaimana aku bisa move-on kalau harus bertemu dengannya setiap hari? Sungjae-lah alasan aku belum menikah lagi sampai sekarang. Kenapa selama lima tahun ini aku menggunakannya sebagai alasan untuk tidak berkencan. Tanpa aku sadari, aku masih mengharapkan Sungjae. Jadi kenapa ketika Sungjae mengatakan masih mencintaiku, aku justru lari? Oh God, I'm a mess. Mungkin ada baiknya aku pergi menemui psikolog untuk menangani masalah emosiku yang berantakan ini. atau, untuk penyelesaian cepat dan tanpa biaya, aku bisa menyingkirkan penyebab utama kebingungan ini. aku harus menyingkirkan Sungjae dari hidupku.

***

-Sungjae POV-

Aku tidak tahu kesalahan apalagi yang sudah aku buat terhadap Joy karena selama beberapa hari ini wanita itu memperlakukanku seperti aku mengidap virus mematikan yang bisa menyebar hanya dengan berbagi udara denganku. Aku sudah memenuhi keinginannya untuk menjadi teman. Aku sudah mengontrol sikap dan kata-kataku kalau ada di sekelilingnya, agar tidak dituduh mencoba menggodanya. Apalagi yang dia inginkan dariku?

Hari pertama aku melihat Joy menghindar, aku pikir dia hanya lelah, makanya dia langsung pergi ke kamarnya setelah makan malam dan tidak kembali lagi sampai waktunya aku pulang. Ketika aku mencoba mencium keningnya, Joy mengelak dengan mengatakan sudah pakai pelembap wajah. Keesokan harinya ketika aku baru saja akan menjemputnya dari studio, aku menerima pesan darinya yang mengatakan hari itu dia menginap di studio karena akan ada pertunjukkan dadakan.

Nada santai Joy membuatku kesal. Aku tahu ada alasan lain kenapa Joy bersikap seperti ini, dan aku mau tahu itu apa.

"Joy-ah, what's going on?"

"Nothing is going on."

Joy menjawab pertanyaan ini terlalu cepat, membuatku semakin curiga. "Jangan bohong sama aku. Sudah beberapa hari ini kamu mengelak dari aku dan jangan kamu pikir aku tidak tahu itu."

Aku mendengar Joy terkesiap sebelum berkata dengan nada melengking, "Siapa bilang aku mengelak?"

"Jadi kenapa kamu tidak pernah mau aku cium lagi?"

"Kan aku sudah bilang, aku sudah pakai skincare..."

"Don't you dare lie to me!" geramku memotong penjelasannya.

"Aku tidak bohong!" teriaknya.

Untuk beberapa menit saluran telepon sunyi. Masing-masing dari kami mencoba mengontrol kemarahan. Ketika aku yakin aku bisa berbicara lagi tanpa meninggikan suara, aku berkata, "Joy-ah, bantu aku untuk mengerti apa yang kamu mau dari aku. Kamu bilang mau kita jadi teman dan meskipun aku tidak setuju sama sekali dengan ini, aku menuruti kemauan kamu. Aku sudah memperlakukan kamu sebagai teman."

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang