Part 7 (Upgrade)

54 25 1
                                    

Jakarta, 2018

Jelita POV

Pintu apartemen terbuka saat aku hampir saja tertidur di sofa dengan televise. Angga's home! Aku melirik jam dinding. Jangan-jangan aku sudah tertidur berjam-jam dengan mata terbuka tanpa aku sadar. Baru jam setengah sebelas malam, artinya aku memang belum tertidur sama sekali. Tidak biasanya Angga pulang saat aku masih terjaga. Ada apa?

"Hai, Jelita ." Sapanya sambil melepas sepatunya. Wajahnya tampak letih. Seperti itukah wajahnya setiap pulang kantor?

"Tumben jam segini sudah pulang?"

"Oh oke, aku balik lagi ke kantor," jawabnya sambil memasang wajah cemberut. Aku terkekeh. That cute face.

Sudah lama aku tidak melihat wajah cemberut sok manja itu. ekspresi yang dulu sering aku lihat di awal pernikahan kami, saat kami sedang berebut channel tv, saat aku melarangnya makan tengan malam, saat aku memaksanya membersihkan kamar mandi. Masa-masa dia belum sesibuk sekarang, masa-masa di mana waktuku dengannya masih berlimpah.

Angga menghampiriku, mencium dahiku. "Jelita, aku kangen sama kamu."

Kangen? Tunggu, aku ingat-ingat dulu kapan terakhir Angga bilang kangen. Setahun lalu? Aku memandangnya aneh

"Mas, kamu sakit?"

"Kamu ini, kalau aku tidak romantis protes, kalau aku romantis malah dikira sakit," katanya sambil duduk di sampingku dan meletakkan tas laptopnya di meja depan sofa.

Aku tertawa keras. Angga ini adalah manusia paling tidak romantis yang aku kenal. Jelas saja aku heran kalau dia tiba-tiba pulang cepat dari kantor hanya dengan alasan kangen istri.

"Aku lapar," kata Angga sambil melonggarkan dasinya.

"Tidak ada makanan." Stok makanan di apartemen memang sangat terbatas mengingat aku dan Angga sama-sama pergi ke kantor dari pagi dan pulang malam. Aku sendiri biasa makan malam diluar sebelum pulang. Angga biasanya baru pulang tengah malam entah jam berapa, dia pasti sudah makan di kantor.

"Jam segini kamu belum makan?" tanyaku.

"Tadi diajak meeting sama klien besar sampai laparku hilang, sekarang baru terasa lagi."

"Delivery aja ya, kamu mau apa?" kataku sambil mengambil ponselku.

"Aku mau kamu yang masak." Angga tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. Orang ini kenapa? Tiba-tiba pualng cepat dan sekarang minta aku masak! Dia kan tahu aku tidak bisa masak.

"Ramyeon?" tawarku. Memangnya ada pilihan lain? Hanya itu yang bisa aku masak. Masakanku yang lain bisa membuatnya terancam keracunan.

"Boleh!" Angga mengangguk semangat, "aku sudah lama tidak makan ramyeon!"

Belum sempat aku beranjak, tiba-tiba ponselku berdering. Siapa yang menelponku malam-malam begini? Aku melirik layar ponselku, Lavian?! Akhirnya manusia satu ini menelponku juga. sudah beberapa hari ini aku menunggu teleponnya, menunggu kabar hasil meeting tim marketing BANGTAN Food mengenai presentasiku tentang servis yang kantorku tawarkan. Setiap ponselku berdering, jantungku langsung berdegup lebih cepat, berharap nama Lavian yang muncul dilayar. Bahkan menunggu hasil ujian akhir zaman kuliah dulu rasanya tidak semenegangkan ini. thank's God akhirnya dia telepon juga.

"Halo."

"Dara, sorry aku telepon malam-malam," kata suara di seberang sana.

"It's ok. Ada apa?" I know, harusnya aku tidak menanyakan itu. teleponnya kali ini sudah pasti tentang hasil meeting tim marketingnya.

"Tadi pagi aku sudah meeting sama tim marketing. Sudah ada keputusan. Sebenarnya tadi aku mau langsung kabari kamu, tapi kerjaanku sedang banyak hari ini, ini baru sempat."

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang