Part 29 (Upgrade)

37 9 0
                                    

Bandung

Angga POV

Aku membutuhkan seminggu sebelum bertemu dengan Jelita lagi. seminggu yang penuh dengan: Telepon nonstop ke sekertarisku di Jakarta, yang bersedia menghandle segala proyekku di sana tanpa kehadiranku sampai aku menyelesaikan masalahku disini.

Keinginan meminta maaf kepada Jelita, serta memikirkan langkah-langkah terbaik untuk kembali bersamanya. Aku sudah memutuskan ingin kembali menjadi bagian dari kehidupannya secepatnya. Aku sudah kehilangan kurang lebih lima tahun hidup tanpanya dan berencana mengejar waktu yang hilang itu.

Intinya, selama seminggu ini aku tidak bisa tidur nyenyak, alhasil aku hampir kelihatan seperti zombie ketika menemui Jelita siang itu. akhirnya Jelita mau menerima teleponku kemarin dan dia tidak setuju bertemu denganku di tempat yang usulkan padanya. Jelita mengusulkan sebuah restoran bersuasana tenang dan dengan desain bersekat yang bisa memberikan privasi.

Ketika aku sampai di restoran, Jelita sudah menungguku. Dan meskipun dia kelihatan tenang, aku tahu dari mata yang menatapku dengan sedikit takut dan curiga, bahwa Jelita gugup setengah mati. Entah kenapa, tapi ini membuatku merasa sedikit puas. Sedetik kemudian aku merasa bersalah karena sudah merasa seperti itu?

"Aku butuh bantuanmu untuk satu hal, tapi sebelum itu aku ingin pergi ke Bali bersamamu, bertemu orang tuamu seperti yang biasa kita dulu lakukan" ucapku tanpa basa-basi, setelah pelayan pergi dengan pesanan kami.

Aku menunggu hingga Jelita meneriakkan sumpah serapah padaku, bahwa aku tidak berhak meminta itu darinya, tapi Jelita hanya menatapku pasrah. Aku baru saja akan mengatakan sesuatu ketika pelayan sampai dengan makanan kami dan aku mencoba menahan keinginanku untuk mencekik pelayan itu. ketika pelayan itu berlalu lima menit kemudian, ada bekas kuku pada telapak tanganku, hasil mengepalkan tangan terlalu kuat karena mencoba mengontrol ketidaksabaranku.

Tanpa menjawab, Jelita justru mengangkat garpunya dan perlahan-lahan mulai makan. Aku tidak bisa makan saking nervousnya. Yang ada, aku hanya bisa menatap Jelita penuh antisipasi. Setelah tiga suap dan Jelita masih tidak mengatakan apa-apa, aku mengulurkan tangan untuk meraih tangan kiri Jelita yang diistirahatkan di atas meja. Alhasil garpu yang dipegang Jelita terlepas dari genggamannya dengan bunyi jatuh yang cukup keras. Jelita buru-buru menarik tangan kirinya dari genggamanku, seakan dia tidak tahan disentuh olehku.

Dan ini membuatku pissed-off tak tergambarkan. Bagaimana Jelita bisa sedingin ini terhadapku?

Pelayan muncul untuk memberikan garupu baru sementara Jelita mengucapkan kata maaf berkali-kali.

Ketika pelayan berlalu lagi, aku sudah bosan dengan aksi kucing-kucingan Jelita dan berkata, "Jelita.."

"Minggu depan, setelah aku selesai dengan urusanku. Tapi untuk mengunjungi orang tuaku, aku tidak ingin pergi bersamamu, kamu bukan suami aku lagi, jadi kamu tidak bisa memaksakku mengikuti semua kemauanmu" potong Jelita.

Aku berkedip, tidak bisa mencerna kata-kata itu. aku mendengarnya, tapi sepertinya otakku menolak memahaminya. Melihatku hanya diam saja, Jelita melanjutkan, "Minggu depan, setelah aku selesai dengan urusanku. Kalau kamu mau, katakan saja dengan cepat kamu perlu bantuan apa?."

Akhirnya aku bisa menemukan suaraku untuk berkata, "Hari Minggu?"

Jelita mengangguk. "Dalam waktu dekat ini aku sibuk untuk..."

"Aku tidak bisa menunggu sampai Minggu depan lagi untuk bertemu kamu," potongku.

Jelita menatapku dengan penuh perhitungan. "Kita tidak bisa bertemu di hari kerja, mas. Aku harus bekerja. Dan kamu juga harus kerja, apa kamu ada waktu?"

"Aku tidak bekerja," ucapku sebelum aku bisa berpikir lagi.

Oh crap! Aku tidak berencana memberitahu Jelita tentang statusku ini sampai nanti, setelah aku berhasil membawanya kembali ke kehidupanku.

"Hah? Kamu pengangguran?!"

Aku harus menggigit lidahku agar tidak mengeluarkan sumpah serapah mendengar nada Jelita yang menghakimi itu. "No, aku bukan pengangguran. Aku punya kerjaan yang bagus dan mapan."

"Apa?"

Biasanya kalau ada orang menanyakan hal ini kepadaku, aku pasti akan langsung tersinggung.

"Salah satu perusahaan event organizer di Jakarta. Aku CEO di sana," jawabku pasrah.

Aku memang tidak bakat berbohong di hadapannya. Saat aku kembali menatapnya, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan, aku tahu memori itu masih menyakiti baginya. Rasa bersalah yang aku rasakan selama ini tidak bisa menandingi apa yang aku rasakan sekarang.

"Aku minta maaf karena sudah menyakiti kamu selama ini," ucapku pelan. Jelita terlihat terkejut dengan permintaan maafku yang tiba-tiba dan aku melanjutkan, "aku minta maaf karena sudah mengecewakan kamu, saat kamu sedang benar-benar perlu aku, karena tidak pernah ada untukmu selama ini. kalau aku bisa kembali lagi ke hari itu dan memperbaiki semuanya, I would. Tapi aku tidak bisa. aku hanya bisa mencoba memperbaiki kesalahan yang sudah aku buat dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengulang kesalahan yang sama ke depannya."

Dengan sigap aku memindahkan piringku dan piring Jelita dari hadapan kami ke sudut meja dan meraih tangan Jelita. Kali ini Jelita tidak menolak sentuhanku, dan aku mengganggap ini pertanda baik untukku. "Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan ini, Jelita."

Aku menunggu hingga es di dalam hati Jelita lumer, dan ada satu detik ketika aku berpikir sudah melakukannya, karena itu aku terkejut ketika Jelita justru menarik tangannya dan berkata, "I can't. aku berhak mendapatkan yang terbaik di dalam hidup ini. aku tidak bisa membiarkan kamu kembali dalam hidupku, kembali menyayangi kamu hanya untuk disakiti."

"Aku tidak akan menyakiti kamu."

"But you will, mas."

Dan aku meledak, "God, you're so stubborn!! Aku sudah minta maaf, tidak bisakah kamu memaafkan aku supaya kita bisa move on dari ini semua? Kalau kamu lupa, kamu yang memutuskan pergi dan meninggalkan aku, dan kamu pikir kamu berhak berpikir seperti itu?!"

"Jangan membahas masalah hak sama aku, sejak kita menandatangi surat cerai itu kamu tidak punya hak sama sekali atas diriku, dari mulai hari itu sampai saat ini!"

"Jelita, kamu tega melakukan ini sama aku? Aku hanya ingin mencoba membantumu" tanyaku sinis.

"Selama lima tahun ini aku sudah cukup mandiri dan aku baik-baik saja. Aku tidak perlu bantuan apa pun dari kamu. Apalagi uang kamu, we're done here."

Dan dengan itu Jelita mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, menarik beberapa lembar won. Dia kemudian membanting uang itu ke atas meja sebelum berdiri dan meninggalkan restoran. Aku membutuhkan beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi dan buru-buru melakukan hal yang sama sebelum berlari mengejar Jelita. Aku tidak menghiraukan tatapan bingung pelayan ketika aku berlari seperti restoran sedang kebakaran. Ketika sampai di pelataran parkir, aku melihat Jelita naik ke dalam mobil merahnya. Aku berusaha mengejarnya, bahkan berdiri di lintasan mobilnya, tapi Jelita hanya membanting setir bak pembalap dan melewatiku dengan kecepatan tinggi  menuju jalan raya.

Goddamn it all to hell!!

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang