Part 23 (Upgrade)

35 10 0
                                    

Jakarta

Angga POV

Aku hanya termenung memandang ke luar jendela kamar. Di luar hujan turun dengan sangat derasnya. Aku masih sering membayangkan Raya, anakku masih tertidur dengan pulas di ranjang bayinya, tak jauh dari tempatku dan Jelita biasa tidur. Sudah sebulan semenjak kepergiannya dan sudah tiga hari semenjak Jelita meninggalku, akupun sudah menerima surat permohonan cerainya.

Aku hanya melamun dan terkadang menangis sesekali. Wajah kusut, mata berkantung hitam. Sudah 3 hari pula aku tidak tidur. Aku hanya makan sesekali, itupun kalau ibuku memaksaku dengan menyebut-nyebut nama istriku.

Ya, istriku. Wanita yang telah aku nikahi selama lima tahun itu kini sudah pergi meninggalkanku. Wanita yang begitu anggun dan berparas cantik, setidaknya bagiku begitu. matanya yang lembut menyiratkan aura seorang wanita dewasa, tak lupa juga suara tawanya yang selalu bisa membuatku ikut tertawa. Aku begitu mencintainya.

Tiba-tiba lamunanku terusik. "Angga, kau harus makan dulu," sahut ibuku.

"Tidak ma, aku tidak lapar..." jawabku dengan nada lemah.

"Tapi Angga, mama yakin Dara juga pasti masih memiliki perasaan yang sama sepertimu, dia hanya perlu waktu untuk sendiri sementara ini dan pasti jika dia melihatmu seperti ini terus, dia tidak akan suka itu." ibuku menyodorkan sepiring makanan beserta lauknya kepadaku.

"Baiklah, mama." Aku menerima piring itu dengan lemas.

Hujan di luar tidak kunjung berhenti. Angin bertiup kencang mengiringi hujan itu. di luar terlihat anak kecil yang lari hujan-hujanan diikuti ibunya yang kerepotan mengejar anak itu sambil membawa payung. Anak itu terlihat sangat senang menikmati tetesan-tetesan hujan walau angin berhembus. Akhirnya ibu dari anak kecil itu berhasil menangkap anaknya dan menggandengnya seraya memayungi mereka berdua. Aku memperhatikan itu. hatiku miris melihat hal tsb. membayangkan itu Jelita yang sedang berjalan di luar sana bersama Raya. Kemudian aku teringat percakapanku dengan Jelita dua tahun yang lalu.

"Mas, empat bulan lagi bayi kita akan lahir apa tidak sebaiknya kita benahi flat kita sekarang saja. Jadi nanti saat aku dekat waktu aku melahirkan kita tidak perlu repot-repot lagi"

"Iya tentu saja boleh sayangku. Aku juga sudah tidak sabar menyambut kehadiran buah cinta kita, flat kita nanti akan diramaikan oleh tawa kecil anak kita. dan tentunya kebahagiaan kita akan lengkap." Jawabku sambil membelai rambutnya.

Bullshit! Pikirku. Tuhan telah tega merenggut anak kita... dan Jelita kamu meninggalkanku di saat-saat seperti ini! aku kembali terdiam. Hatiku begitu sakit. Seperti ada yang mengiris-iris perasaanku. Aku sangat ingin setidaknya mendapatkan satu kesempatan lagi untuk memperbaiki segalanya. Tapi sepertinya kesempatan itu telah menjadi mustahil sama sekali.

Aku kemudian mengambil fotoku bersama Jelita dan Raya ketika kami pulang ke Bali. Aku memandangi foto itu. aku kembali teringat Raya yang sangat menikmati permainan pasir. Kami membuat sebuah kastil yang besar. Lalu kami berfoto di sebelah kastil pasir yang kami buat. Aku menitikkan air mata. Betapa aku sangat merindukan kalian.

Tiba-tiba saja Guntur menyambar dengan kerasnya, saking kagetnya aku sampai menabrak meja di belakangku. Tiba-tiba saja sebuah amplop berwarna hijau terjatuh dari sisi meja itu. aku melihat amplop itu dan mengambilnya.

Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang menulis surat itu. kubuka perlahan dengan nafas masih tersengal-sengal. Dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Aku membaca surat itu perlahan.

My dearest Mas Angga...

Maafkan aku...

Aku memang terlalu pengecut untuk mengungkapkan langsung kepadamu.

Maafkan aku yang bodoh ini, tapi aku tahu hatimu akan kuat. Aku tahu kamu bisa menjalani kehidupan ini tanpaku nanti. Karena kamu lelaki pilihanku. Jangan terus salahkan dirimu sendiri mas, karena aku juga ikut bersalah atas meninggalnya Raya.

Kamu ingat, mas? Betapa semangatnya kita saat menghias kamar bayi Raya, betapa rajinnya kita mencari buku panduan menjadi orangtua yang baik, dan betapa bersamangatnya kita saat memikirkan nama untuk anak kita. itu selalu dapat membuatku tersenyum dan mengingat itu semua betapa aku sadar, kamu adalah ayah terbaik bagi Raya dan suami terbaik bagiku.

Aku sangat bahagia jika mengingat saat-saat itu. maka saat ini aku ingin kamu jadi kuat. Aku ingin kamu bisa ikhlas. Ikhlaskanlah kepergianku... karena jalan ini yang terbaik untuk kita berdua, aku tidak ingin kita terus bersama hanya untuk saling menyakiti. terima kasih atas enam tahun kebersamaan kita. dari sejak pertama kita bertemu sampai saat ini adalah tahun-tahun yang paling indah dalam hidupku. Kuharap bahasa sederhanaku dapat membuatmu mengerti sepenuhnya. Aku akan selalu hidup dalam hatimu dan dalam jiwa anak kita. aku selalu mencintaimu.

With love,

Your Jelita

Seketika aku terduduk lemas membaca surat itu. tanganku gemetar menyadari setiap isi yang tak pernah aku duga. Aku merasa sangat sedih sekaligus bersalah. Air mata jatuh begitu deras seperti hujan di luar. Aku menangis tanpa suara, tertunduk lesu. Membayangkan Jelita di benakku, membayangkan aku sedang memeluk wanita itu erat. Aku juga membayangkan Raya yang berada di dekapanku sekarang, menyadari betapa lucu dan cantiknya anakku itu. matanya yang mirip ibunya, sementara hidungnya yang mirip denganku. Aku tersenyum. Aku baru menyadari karunia Tuhan yang telah diberikan kepadaku selama ini.

"Raya, maafkan Papa..."

Ada angin lembut yang membuka jendela yang memang tidak dikunci, membelaiku dengan lembutnya seolah Raya kini tersenyum padaku.

"Iya sayangku, Papa janji akan memperbaiki segalanya jika Tuhan kembali mempertemukan Papa dengan Mamamu..." bisikku dalam hati sambil tersenyum

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang