Part 33 (Upgrade)

31 5 0
                                    

Bali

Angga POV

Jelita ingin mencari tahu tentang orangtua kandungnya, dan ibunya memintaku membantunya, tapi aku ragu apakah hal itu dapat dilakukan. Aku tidak memiliki informasi apapun yang bisa dijadikan petunjuk. Bahkan orangtua angkatnya tidak tahu apa-apa tentang asal-usul Jelita. Jelita adalah salah satu dari sekian banyak bayi yang ke panti asuhan Bandung tanpa nama dan tanpa informasi apapun. Petunjuk yang aku miliki sangat sedikit. Jelita ditemukan di pintu depan panti asuhan bersama secarik kertas lusuh bertuliskan tanggal lahirnya dan terbungkus handuk putih tipis dengan tulisan 'Sea' yang sudah nyaris tak terlihat di pinggirannya. Aku tidak yakin apakah ibu kandung Jelita bernama 'Sea' atau apakah ibu kandung Jelita ingin bayi perempuannya dinamai 'Sea'. Mungkin juga nama itu sama sekali tidak ada artinya.

"Apakah selama ini kamu berhasil menemukan informasi?" tanyaku.

Jelita tersentak dan mengerjap menatapku, membuktikan dugaanku bahwa wanita ini memang sempat melamun. Lalu Jelita tersenyum muram dan berkata, "ketika aku memulai penyelidikanku, tempat pertama yang kukunjungi adalah panti asuhan itu. tapi ternyata tempat itu sudah berubah menjadi sebuah rusun sejak kebakaran besar menghanguskan gedung itu beberapa tahun silam. Tidak ada arsip atau dokumen yang selamat dari kebakaran itu." ia terdiam sejenak dan menghela napas. "aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Jadi, kuputuskan menyewa penyelidik."

Aku menunggu sementara Jelitaa menyesap kopinya.

"Tapi sejauh ini dia juga tidak berhasil menemukan apa-apa. aku curiga dia hanya meminta bayaran tanpa benar-benar berusaha melakukan tugasnya." Jelita mendecakkan lidah. "aku ingin menyewa penyelidik lain yang lebih berpengalaman, yang katanya memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam melacak orang-orang yang tidak ingin dilacak. Tapi biayanya jauh lebih mahal."

Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke meja, berpikir. Kali ini, ketika layar ponselku menyala lagi, aku meraih ponsel itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket yang di sampirkan di sandaran kursi.

***

Jelita POV

Layar ponsel Angga kembali menyala. Sekali lagi, lelaki itu mengabaikan panggilan yang masuk. Malah kali ini ia menyimpan ponsel di saku bagian dalam jaketnya. Aku heran. Siapa yang menelpon? Kenapa Angga tidak menjawab?

"Ibumu khawatir."

Aku mengalihkan pandangan dari jaket Angga. "Hm?"

"Ibumu khawatir," ulang Angga. "Terutama setelah kamu memutuskan bahwa kamu tidak tahu berapa lama kamu berniat tinggal di Bandung."

Aku tertawa kecil. "Aku tahu ibuku cemas sejak dia tahu aku ingin mencari orangtua kandungku. Padahal aku sudah menjelaskan berulang kali bahwa dialah ibuku dan selalu akan menjadi ibuku, bahwa aku tidak akan dan tidak mungkin mengabaikannya demi ibu kandungku. Tapi, kamu tahu bagaimana ibuku. Dia sangat dramatis."

"Sama sepertimu," kata Angga.

Jelita mengangkat bahu. "Aku ini penyanyi musical. Aku diharuskan bersikap dramatis."

Setelah hening selama beberapa saat, Angga bertanya, "jadi, kamu akan tinggal di Bandung sampai kamu menemukan orangtua kandungmu, walaupun hal itu mungkin butuh waktu bertahun-tahun?"

Aku mengerutkan kening. "aku tidak pernah berniat tinggal di Bandung selamanya. Aku hanya.. maksudku.." aku terdiam, lalu melanjutkan, "entahlah. Aku belum berpikir sejauh itu."

Aku sungguh belum berpikir sejauh itu. aku juga tidak pernah menduga bahwa melacak keberadaan seseorang mungkin akan membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Aku tidak pernah berpikir tentang kemungkinan bahwa aku takkan pernah menemukan orangtua kandungku. Aku selalu berpikir jika aku berada di Bandung, aku akan dengan cepat bisa menemukan mereka. Atau setidaknya mendapatkan informasi tentang mereka.

Aku terlalu naïf.

Kami berdua kembali berdiam diri, menekuri kopi masing-masing. Susana kembali canggung seperti sebelumnya, aku berusaha mencari bahan pembicaraan lain, sebelum Angga mulai percakapan terlebih dahulu.

"Sebaiknya kita kembali ke Bandung sekarang." Katanya sambil melirik jam tangan.

"Oke," sahutku. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku akan bertemu dengan Angga lagi. apakah pertemuan ini akan menjadi satu-satunya pertemuan kami selama lima tahun terakhir dan lima tahun ke depan? Sejenak aku tertekan.

Angga mengangkat sebelah tangan untuk menarik perhatian pelayan. Lalu, seolah-olah bisa membaca pikiranku tadi, ia bertanya, "apakah kamu punya waktu besok? Aku butuh bantuanmu besok, bukan minggu depan"

"Oke" sahutku cepat. Namun kemudian aku teringat bahwa besok hari Senin. "Oh, tidak. Besok ada jadwal pertunjukan siang."

"Bagaimana kalau jam 11.30? brunch"

Aku tersenyum. "Oke."

"Kamu keberatan jika kita bertemu di B.Mansion?"

"Tidak, bukan masalah. Kamu tinggal di B.Mansion?"

"Iya, aku menumpang di apartemen sepupuku. Dan ada seseorang yang aku ingin kamu temui," tambah Angga sebelum mengalihkan perhatiannya kepada pelayan yang datang mengantarkan tagihan.

Aku mengerjap, bergeming sejenak, lalu bertanya dengan nada bergurau, "siapa? Wanita?"

"Bukan. Pria," gumam Angga sambil memeriksa tagihan yang diletakkan di atas meja.

"Oh, baguslah." Aku menarik napas dan melanjutkan dengan nada ringan, "jadi aku tidak perlu menyeret seseorang untuk kuperkenalkan sebagai kekasihku hanya karena aku tidak mau kalah darimu."

Angga mengangkat wajah menatapku dengan bingung, "Apa?"

Aku mengibaskan tangan dan tersenyum. "Lupakan saja."

Setelah membayar dan si pelayan berjalan pergi, Angga kembali menatapku dan bertanya dengan nada ragu, "Kamu... masih suka pergi menonton konser?"

"Hm?"

"Mau ikut menonton konser musical di daerah B. Mansion nanti? masih tiga minggu lagi"

Aku bisa merasakan senyumku mengembang dengan cepat. "Ya!" kataku langsung. "Hari selasa malam, kan?" junior-ku bisa menggantikanku di pertunjukanku hari itu."

Sekali lagi aku melihatnya setelah sekian lama, Angga menyunggingkan seulas senyum kecil tulus yang menjadi ciri khasnya.

Dan juga untuk pertama kalinya selama lima tahun terakhir ini, duniaku seolah-olah terlihat sedikit lebih cerah.

***

Bandung

Aku masuk ke apartemen di Bandung, menyalakan lampu dan langsung melangkah ke salah satu dari dua jendela yang menghadap ke jalan. Angga masih berdiri di trotoar di samping taksi yang kami tumpangi tadi, mendongak kearah jendela apartemenku di lantai lima dengan kedua tangan dijejalkan ke saku jaket tebalnya. Aku tersenyum dan mengangkat sebelah tangan, memberikan lambaian kecil. Angga mengangkat sebelah tangannya yang tidak bersarung tangan untuk membalas lambaianku sebelum kembali ke dalam taksi.

Taksi yang ditumpangi Angga melaju pergi dan menghilang dari pandangan.

Rama Angga Dinata. Siapa yang menyangka aku akan bertemu dengan lelaki itu di Bandung? Aku mengangkat sebelah tangan dan menempelkannya ke dada. Siapa yang menyangka lelaki itu masih bisa membuat jantungku berdebar sedikit lebih cepat setelah bertahun-tahun?

Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan

Rama Angga Dinata

Mantan suamiku.

Belahan jiwaku.

Cintaku yang kandas

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang