Part 31 (Upgrade)

41 8 8
                                    

Bali

Jelita POV

Aku tidak percaya aku baru saja membiarkan Angga mencium dan melarikan lidahnya pada leherku seakan-akan dia punya hak melakukan itu di dapur rumah orangtuaku. Dapur rumah orangtuaku!!! Oh my God, this man is a monkey.

"You're a monkey," teriakku sambil mendorong Angga dengan kasar dan mengambil beberapa langkah menjauhinya.

Angga hanya menyeringai seakan dia baru memenangi sesuatu. Kemungkinan kontes gorilla yang mampu memukuli dadanya paling lama. God!! Bagaimana aku pernah tertarik pada laki-laki seperti ini? aku mengangkat tangan dan menyentuh tempat Sungjae baru saja menciumku beberapa menit yang lalu. Kulitku terasa agak perih, membuatku meringis.

Tiba-tiba Angga sudah berdiri di hadapanku. "Did I hurt you?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangan, siap memeriksa leherku.

Sebagai jawaban, sekali lagi aku mengambil beberapa langkah menjauhinya. Aku benar-benar tidak mau disentuh oleh Angga lagi, tidak setelah apa yang baru saja dilakukannya. Laki-laki ini selalu bisa mencuci akal sehatku dengan sentuhannya. Dan aku memerlukan seluruh akal sehat ini kalau mau berbicara serius dengannya.

Angga menyipitkan mata. seperti tidak suka bahwa aku blakblakan menolak permintaannya. "berhenti menghindar! Aku hanya mau memastikan leher kamu tidak apa-apa," geramnya.

"Well, what do you think, Mas? Setelah apa yang baru saja kamu lakukan!" aku balik menggeram.

Kali ini Angga nyengir dan berkata, "seingat aku, kamu suka kalau aku melakukannya, bee."

Aku menolak mengomentari caranya memanggilku, aku berkata, "kamu masih mau lihat aku setelah hari ini?"

"Of course."

"Kalau begitu berhenti membuatku marah dan duduk di meja makan. Kita perlu bicara," geramku sambil menunjuk kearah meja makan.

Angga memberikan tatapan kesal padaku. tatapan itu dulu selalu dia berikan kalau dia tidak menyukai perintahku. Aku memberikan satu ekspresi yang paling ditakutinya, yaitu merapatkan bibir hingga menjadi garis lurus dan melontarkan tatapan setajam pisau. Tanpa aku sangka, ekspresi ini masih berfungsi padanya yang pada detik itu melangkah menuju meja makan dan mendudukan dirinya pada kursi yang tadi dia tempati.

Aku memilih tetap berdiri dan memulai pidato. Aku tidak tahu apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar dengan melakukan ini. aku hanya bisa berdoa dan berharap semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

"Sebelumnya, aku minta maaf karena sudah pergi meninggalkan kamu begiu saja di restoran tadi siang. Aku terlalu terbawa emosi sampai tidak.. tidak bisa menghargai usaha kamu yang sudah mencoba jujur tenang situasi kamu saat ini."

Aku melirik Angga yang kelihatan mendengarkan kata-kataku dengan seksama sebelum melanjutkan, "aku tebak kamu di Bucheon hanya untuk liburan?"

"Not exactly?"

"Sambil kerja, then?"

Angga sekali lagi menggeleng, membuatku bingung. "Oke, jadi kamu di Bandung untuk apa?"

"Aku ke Bandung specifically untuk mencari kamu, aku tahu kamu disini dari hasil meneror Eyrin. Aku ingin minta maaf tentang situasi kita lima tahun lalu, dengan harapan kamu mau memaafkan aku. Dan mungkin... kita bisa mencoba sekali lagi mengenal sau sama lain."

Kata-kata Angga membuatku berheni mondar-mandir untuk menatapnya. Holy cow, is he really serious? Apa dia benar-benar datang ke Bandung hanya untukku? No way. Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan mendengar kata-kata ini. akhirnya aku hanya berdiam diri.

"Anak kita, Raya is great kids, Jelita. Happy kids. Aku selalu tahu kamu adalah ibu yang baik, aku yang salah selama ini. thanks you... karena sudah membesarkan dan menjaganya dengan baik selama kita bersama. Aku minta maaf karena terkadang aku tidak bisa membantumu ikut merawatnya. Aku ingin sekali mengubah hidup kelamku ini dengan membaginya bersama kamu, aku ingin kita sama-sama bangkit dari keterpurukan kita setelah Raya meninggal, itupun kalau kamu setuju. Semua keputusan ada di tangan kamu."

Kata-kata Angga barusan membuatku tiba-tiba pusing dan tidak bisa menarik cukup oksigen ke dalam paru-paruku. Whoa, aku perlu duduk.

***

Angga POV

Setengah detik saja aku terlambat, aku yakin kepala Jelita sudah akan membentur lantai. Dan aku akan memiliki masalah menjelaskan kepada ibunya kenapa ada benjol di kepala anaknya, atau lebih parah lagi, kenapa anaknya dibawa pergi naik ambulans. Aku langsung menggendong Jelita dan mendudukannya di atas sofa.

"Breathe, Jelita, breathe... there you go.. oke, sekali lagi. tarik napas dalam. Lepaskan, good girl."

Ketika aku melihat mata Jelita sudah kembali fokus, aku berlari ke meja makan untuk mengambil teh yang tadi ditinggalkan Jelita. Buru-buru aku meminta Jelita meminumnya sampai habis. Setelah wajah Jelita yang tadinya pucat sudah kembali berwarna lagi, aku bertanya, "better?"

Jelita mengangguk

"Kamu mau teh lagi? aku bisa buatkan kalau kamu mau."

Jelita menggeleng dan aku mengambil cangkir kosong dari genggaman Joy dan meletakannya di atas meja.

"Sorry, aku tidak bermaksud..."

"Kapan kamu harus kembali ke Jakarta?" Jelita memotong kata-katanya.

"Aku bilang ke staf-stafku kalau aku akan disini sampai bulan depan."

"Jadi kamu hanya ada waktu sebulan?" tanya Jelita dengan nada skeptis.

Aku mencoba untuk tidak meringis ketika mengatakan, "iya." Melihat keraguan di mata Jelita membuatku panik, dan tanpa berpikir aku sudah berkata, "Aku berharap bisa menggunakan waktu ini untuk kembali mengenal dan mengerti kamu lebih jauh. Dan kamu bisa menggunakan waktu ini untuk memutuskan apa kamu mau aku kembali lagi dalam kehidupan kamu."

"Dan kalau aku memutuskan satu bulan tidak cukup bagi kamu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan pindah ke Bandung."

Aku kaget sendiri dengan kata-kataku ini. apa aku benar-benar akan melakukan ini? ini sama sekali tidak ada di dalam agendaku ketika aku merencanakan rencana ini dengan Irene nonna.

"You would do that?" tanya Jelita, sama terkejutnya denganku.

Aku tidak ada waktu untuk berpikir. Kalau aku memang serius memperbaiki hubunganku dengan Jelita, aku harus melakukan ini sekarang. Aku sudah egois lima tahun lalu, aku tidak akan melakukannya lagi. dengan satu tarikan napas, aku melakukan sesuatu yang aku tidak pernah lakukan sebelumnya: terjun ke dalam air yang aku tidak tahu kedalamannya.

"Absolutely. Pekerjaan akan selalu bisa dicari di manapun, tapi aku tidak mau lagi kehilangan kesempatan menjadi bagian dari kehidupan kamu, bee."

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang