Part 26 (Upgrade)

40 7 0
                                    

Bandung

Keesokan harinya ketika Jelita berani menghidupkan ponselnya lagi, ada sekitar dua puluh missed call, sepuluh pesan dan beberapa voicemall. Sekitar 80 persennya datang dari nomor yang sama, yang kini dia kenali sebagai nomor Angga. Untuk beberapa detik Jelita berdebat dengan diri sendiri. Apa dia mau membaca pesan-pesan atau mendengar semua voicemall Angga? Pada satu sisi, keingintahuan menggelitiknya, tapi di sisi lain, dia takut pada apa yang akan dia baca atau dengar.

Lima tahun yang lalu ketika Angga memborbardir inbox emailnya, dia tidak pernah membaca satu pun. begitu melihat namanya, dia langsung mendeletenya dari inbox dan folder trash agar tidak tergoda untuk membacanya di kemudian hari. untungnya Angga berhenti mengganggunya setelah sekitar lima bulan. Tapi kali ini Jelita mendapati rasa ingin tahu menang daripada rasa takut, dan dengan jari-jari gemetar dia membaca pesan pertama yang dikirmkan oleh Angga kemarin.

Jelita, kita belum selesai bicara. Angkat ponsel kamu!

Jelita, aku serius!

Just text me back when u get this. I just want to talk to u.

Panik akan ketagihan membaca pesan-pesan Angga yang lain, Jelita langsung mematikan ponsel dan melemparnya ke dalam laci meja rias. Harinya sudah cukup sibuk tanpa harus pusing memikirkan perasaannya terhadap Angga.

Tapi sepertinya Angga menolak menyerah karena ketika kembali dari makan siang, Jelita menemukan satu email darinya. Sudah lama dia tidak melihat nama Angga di dalam inbox-nya, sehingga dia menatap nama itu lekat-lekat dan membacanya berkali-kali untuk memastikan. Email itu dikirim sekitar satu jam yang lalu. Jari-jarinya membeku di atas layar ponselnya, sementara perdebatan hebat tentang pro dan kotra untuk membuka email itu berputar-putar dialam kepalanya. Sepuluh menit kemudian dan mendapati diri masih dalam posisi yang sama, jelita memutuskan untuk berhenti menjadi pengecut dan membuka email itu.

Jelita,

Waktu ponsel kamu mati hari minggu, aku bisa mengerti kalau itu memang kebiasaanmu untuk tidak mau diganggu pada akhir pekan. Tapi ponsel kamu masih mati sampai sekarang. Dan aku tidak punya pilihan selain berpikir bahwa kamu sedang menghindari aku.

Aku sudah meninggalkan banyak pesan dan voicemall di ponsel kamu. I don't know if u get any of those, tapi untuk jaga-jaga aja, aku kirim email ini. aku mau bertemu kamu lagi. satu jam waktu kamu, itu saja yang aku minta untuk bisa bertemu face-to-face.

Ini adalah usaha terakhir aku untuk menghubungi kamu secara baik-baik. Kalau kamu masih cuekin aku juga, aku tidak punya pillihan selain mengambil extreme measure.

Angga

Setelah membaca email itu sebanyak enam kali, tidak percaya bahwa Angga memohon dan mengancamnya dalam email yang sama. Jelita menguburkan wajahnya pada kedua telapak tangan. Ya Tuhan, dia pernah menikahi psikopat. Lelaki gila mana yang akan mengancam seorang wanita untuk bertemu dengannya? Kesal karena sudah diancam, Jelita membalas email itu

Mas Angga

Aku tidak tertarik untuk bertemu kamu lagi. jangan hubungi aku lagi.

Jelita.

Dan hanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut atas ancaman Angga. Hal pertama yang dia lakukan adalah menghapus semua pesan dan voicemall yang Angga kirim, kemudian memblok nomor itu. dan sebagai pencegahan saja, dia juga menandai alamat email Angga sebagai spam. Kalau lelaki itu berpikir bahwa dia bisa dengan mudahnya membuat hidup Jelita merasa, dia salah kaprah.

***

Ketika Angga tidak bisa menghubungi Jelita setelah percakapan telepon mereka, rasanya dia sudah mau gila. Wanita itu sudah mematikan satu-satunya saluran komunikasi yang dia miliki untuk bisa menghubunginya. God, hidupanya sudah seperti rentetan kejadian déjà vu from hell yang tidak bisa dia hindari.

Satu detik mereka sedang tertawa bersama-sama yang membuatnya senang tidak tertolong karena sudah bisa membuat Jelita tertawa. Alhasil dia mengucapkan kata-kata yang dia pikir akan membuat Jelita senang. Detik selanjutnya Jelita sudah menutup telepon setelah menggumamkan alasan tidak jelas.

Dia mencoba menelpon balik, tapi tidak diangkat dan ketika dia mencoba untuk yang kedua kali, ponsel Jelita sudah dimatikan. Dia mencoba semalaman untuk menelponnya, tapi ponsel itu tetap mati. Semua voicemail dan pesannya juga tidak ada yang dibalas. Dia tidak percaya bahwa dia kehilangan Jelita lagi, ketika dia sudah begitu dekat dengannya. What the hell is wrong with me?? Apa dia tidak pernah bisa melakukan apa-apa dengan benar kalau menyangkut Jelita?

Kehabisan cara mendekati Jelita, Angga menelpon Naya.

"Naya, she turned off her phone," teriak Angga gemas begitu Naya mengangkat telepon.

Dari ujung saluran telepon Naya menjawab, "Who's this?"

"Don't play games with me. I'm not in the mood, okay."

"Apa susahnya kau bilang halo dan tanya kabar aku dulu daripada langsung berteriak-teriak seperti itu?"

Angga mendengus tidak sabar dan berkata, "Fine, halo, naya, apa kabar?"

"Halo angga. Dari terakhir kali kita bicara, aku sudah sempat membuat oatmeal cookies, antar Chico dan Jeje ke play group dan jalan-jalan ke mall. Kau sendiri bagaimana kabarmu?" balas Naya dengan nada ramah yang super dibuat-buat.

"She turned off her phone." Angga mengulangi beritanya, tapi kali ini dengan nada lebih tenang.

"Who?"

"Naya, I swear to God.."

"Oke, oke. Sorry. Go ahead.."

"Barusan aku kirim email ke dia, dan tahu tidak balasannya apa?"

"Apa?"

Angga membacakan isi email Jelita sebelum berkata, "God, that woman is driving me crazy."

"Yes, I can see that," ucap Naya sambil cekikikan.

"Bisa tidak kau tidak tertawa? Ini masalah serius, oke?"

"Angga, kau bicara apa di email yang kau kirim sampai dia bilang begitu?"

Untuk memastikan Naya mengerti masalahnya, Angga tidak punya pilihan selain memulai dengan menceritakan apa yng terjadi kemarin sore. Tentang pembicaraan teleponnya dengan Jelita, yang hampir terasa bersahabat; bahwa kini dia yakin seratus persen, Jelita berbohong tentang memiliki suami, bahwa Naya benar, dan Jelita masih ada rasa terhadapnya; bagaimana Jelita langsung mengambil langkah seribu ketika mendengarnya mengatakan tiga kata itu; dan tentunya emailnya yang harus dia akui bukan ide terbaiknya.

"Tentu saja dia kabur, Angga. Pertama-tama kau bilang kau rindu dia, 24 jam setelah kau baru bertemu lagi setelah lima tahun berpisah. Kedua, kau mengancam dia untuk bertemu lagi. in which universe do you think this would ever work?"

Angga mendengarkan teguran Naya ini dalam diam. Dia mulai bertanya-tanya apakah dia sebaiknya melupakan semua ini dan kembali ke Jakarta? Tidak ada wanita manapun yang pantas menguras semua emosi dan waktunya seperti ini. namun dia tahu itu tidak benar. Karena dia tahu, untuk Jelita, dia rela melakukan apa saja.

Dengan keyakinan baru bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah penghabisan, Angga berkata, "Naya, kau ingat janji untuk melakukan apa saja untukku kalau aku pergi ke acara itu bersamamu?"

"Iya?" tanya Naya waswas.

"Good. I need you to do something for me."

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang