Part 4 (Upgrade)

68 29 8
                                    

Jakarta, 2016

Author POV

"Apa, kau akan menikah dengannya?"

"Yang benar saja, sejak kapan kau jadi budak cinta begini?"

Dara mendesis, berusaha menenangkan Juwita yang seolah melihat hantu. Sementara di tempat lain Angga hanya tertawa hambar menanggapi Mahen teman masa kecilnya.

"Begitulah," jawab Dara dan Angga bersamaan dari tempat yang berbeda.

Saat ini Dara dan Angga berada di dua tempat yang berbeda, bersama orang yang berbeda pula. Namun kebetulan sekali mereka membicarakan topik yang sama, di waktu yang sama pula.

Bersama adiknya, Dara menikmati malam di lantai dua kamarnya. Mengenakan piyama, memeluk bantal sambil sesekali mendengar pujian dari bibir Juwita, tentang bagaimana lampu-lampu kota tampak jelas dari balkon kamarnya.

Sementara Angga, bersama seorang teman masa kecil yang datang dari kota asalnya menikmati malam di sebuah café yang menyajikan kopi hingga larut nanti. Ketika bulan memamerkan seluruh wajahnya, memancarkan sinar yang terkalahkan oleh lampu kota.

"Kau yakin dengan keputusanmu ini, siapa tahu dia hanya menginginkan uangmu, misalnya. Jaman sekarang banyak wanita seperti itu."

"Maksudmu, dia hanya memanfaatkanku?" timpal Angga santai, sekilas ia menikmati kopi yang mengepulkan uap.

Juwita mengangguk-anggukan kepalanya, memahami fakta bahwa saudaranya sebentar lagi akan segera menikah. "Dia kerja apa?"

"Dia sedang berusaha membangun perusahaannya sendiri di bidang EO, sementara ini dia masih memegang perusahaan keluarganya di bidang IT," Dara memeluk bantalnya erat, sembari menyandarkan dagu pada benda empuk itu. dia yang menggerai rambut panjangnya memerhatikan ekspresi lawan bicaranya. Senyum penuh dugaan yang melemparkan berbagai asumsi. "Apa? jangan berpikir aneh-aneh hanya karena mengatakan secara tidak langsung dia kaya, aku tidak pernah memanfaatkannya."

Juwita terkikih geli, "Ya, siapa tau, kau bisa sesekali memanfaatkannya."

"Dia tidak pernah meminta kado ulang tahun dan selalu minta aku untuk membeli barang yang biasa saja kalau dia ulang tahun. Dia tidak mau ditraktir di café mewah kecuali ada momen khusus. Pernah dia memaksa membayar saat kita makan malam waktu baru terima gaji. Dan sebenarnya kami pernah bertengkar hebat karena masalah barang yang aku beli untuknya, aku terlalu memanjakannya, dia tidak suka," Angga menghitung semua penjelasannya, lalu mengakhiri dengan mengusap dahinya perlahan sementara sikunya bertumpu pada meja, "dia benar-benar tidak suka dimanjakan dengan uang atau barang walaupun tetap saja, dia akan senang jika dibelikan bunga, cokelat atau boneka."

Dara menggelengkan kepalanya cepat. "Nanti saja kalau sudah menikah, aku manfaatkan dia dan uangnya sesuka hati," senyum lebar Dara ditanggapi cepat dengan lemparan boneka oleh Juwita yang mencibir sambil menyerukan helaan napas panjang sebagai tanda protes

"Tapi benar juga," Juwita memajukan kepalanya penuh rasa penasaran, sebelum melempar kembali pertanyaan, "kau benar yakin ingin menikah dengannya? Tidak ingin mencari yang lain dulu?"

"Tipe wanita baik-baik. Kau yakin ingin menikah dengannya? Tidak ingin mencari yang lain dulu?" tanya Mahen, jarinya beberapa kali mengetuk-ngetuk meja menunggu pesanan yang tak kunjung datang.

"Aku tidak bermain-main dengan wanita semenakjubkan Dara," ucapnya kemudian diiringi senyuman.

Dara menggeleng. Matanya teralih pada jendela kamarnya yang tertutup tak terhalang tirai. Titik-titik lampu kota masih tampak jelas di sana, "entahlah, tapi sampai saat ini aku belum ragu."

Mahen bertanya dengan alis kiri yang terangkat ke atas, "Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?"

Angga terkekeh mendengar pertanyaan Mahen. "Dara adalah perempuan yang membuatku ingin melindunginya."

"Kau benar-benar percaya diri ketika mengatakannya, sepertinya Angga ini benar-benar menyakinkanmu," ujar Juwita berandai-andai bagaimana laki-laki yang di kenal kakaknya ini bisa membuat pernyataan yang membuat seorang Sinta Dara Jelita yang terkadang keras seperti batu, meleleh seolah es dalam gelas minuman.

"Begitulah," Dara memeluk erat bantalnya. Menenggelamkan sebagian wajahnya dibalik bantal, menyembunyikan senyum dan rasa rindu.

"Bagaimana kalian bisa bertemu?" tanya Juwita kemudian, semakin bersemangat untuk menggali cerita yang entah bagaimana turut membahagiakannya.

"Itu.." Dara menjetikkan jarinya, "sebenarnya pertemuan kami pertemuan yang menyenangkan"

Angga mengusap dagu, sembari mengingat pertemuan pertamanya dengan Dara, "Saat itu di acara prom night di kampus. Dan aku bernyanyi di sana"

"Bukankah itu hal yang baik?"

"Saat selesai bernyanyi, dia datang dan menawariku untuk bergabung dengan komunitasnya" Dara menyembunyikan kembali sebagian wajahnya di balik bantal

"Di lain hari aku melihatnya berusaha memanjat pohon untuk mengambil layangan seorang anak kecil yang tersangkut," Angga menempelkan tangannya di dahi, lirih ia melanjutkan kalimatnya. "padahal dia sedang memakai rok saat itu."

Mahen dan Juwita mengerutkan dahinya bersamaan, di tempat yang berbeda. Penuh rasa heran, mereka memerhatikan lawan bicara masing-masing yang mengguratkan senyum dengan mata yang memandang jauh. Setiap memori seolah menghias wajah mereka dengan riasaan terbaik dan aura membahagiakan yang menular.

"Sulit menjelaskan bagaimana pertemuan demi pertemuan membuatku jatuh cinta padanya, tapi keberadaannya membuatku merasa terlindungi. Dia juga memberiku kesempatan untuk menjadi sedikit egois setiap kali bersamanya," Dara tersenyum memamerkan gigi-gigi putihnya. "Ya.. kau tahukan selama ini aku harus bertindak sebagai kakak di mana pun berada."

Juwita tekekeh sebelum mengangguk-angguk kepala setuju, "Begitulah, aku padamu selalu," ucapnya dengan nada seolah mempersembahkan sesuatu pada penonton, dengan tangan yang terulur memamerkan wajah Dara. Ekspresi Juwita yang benar-benar lepas itu, menarik tawa Dara dan lemparan bantal darinya.

Mahen tertawa, "kau harus memperkenalkan si Dara ini padaku."

"Kapan-kapan aku harus bertemu Angga ini sepertinya," ucap Juwita sembari tersenyum menggoda.

Cepat-cepat Dara membentuk tanda silang dengan kedua lengannya. Penolakan, "nanti kalau kau malah menyukainya, bagaimana? Wajahnya Angga kan lumayan, dia dewasa dan mapan lagi."

Angga menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu menggertakkan tangannya, "Tidak, tidak, tidak, Dara adalah perempuan yang secara fisik benar-benar tipemu. Tinggi, semampai, manis, rambutnya panjang."

Kedua lawan bicara Dara dan Angga menaikkan alisnya, kesal. Entah siapa yang memberi aba-aba dari tempat berbeda. Mereka berdua menjawab bersamaan.

"Yang benar saja!"

To Be Continued

CAST:

Kim Mingyu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Mingyu

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang