Part 2 (Upgrade)

118 41 19
                                    

Jakarta, 2015

Jelita POV

Sore baru saja tiba, ketika aku memutuskan untuk meminta seseorang datang ke tempat yang tidak biasa. Tanpa menjelaskan alasan, kuminta ia datang membawakan snack kesukaanku.

Butuh waktu 20 menit baginya untuk mencapai taman ini, sebuah taman kecil yang berada dalam lingkungan tempat tinggalku, taman yang hanya terdiri dari sebuah perosotan, sebuah ayunan dan sebuah bangku taman, yang sesekali dilewati anak-anak kecil.

Sore belum beranjak jauh ketika dia tiba, memarkirkan mobilnya tepat di sisi taman dan menghampiriku yang duduk manis di ayunan. Tanpa banyak kata, tangannya menyerahkan satu pack snack pesananku. Sekilas kupamerkan senyum termanis sambil mengucapkan terima kasih.

"Ada apa?" tanyanya sambil mendorong ayunanku pelan.

Kuangkat kepalaku ke belakang, berusaha menangkap sosoknya yang tepat di belakangku, "Tidakkah kamu memintaku mempertimbangkan tawaranmu beberapa hari lalu?"

Ia berhenti mendorong, membuatku kembali tenang di titik awal.

"Kenapa berhenti?"

"Aku kira kamu ingin bicara serius."

Aku terkekeh, "tenang saja, aku orang yang tetap bisa serius walaupun sedang bermain ayunan."

Angga kembali mendorong tanpa banyak bicara dan aku mulai mengoceh, menyelesaikan kalimat yang akan kusampaikan, "aku menolak tawaranmu. Aku tidak bisa melepaskan apa yang kukerjakan sekarang."

Setelah itu ayunan berhenti, kembali ke titik awal. Aku tidak berani melihat ekspresinya yang mungkin masih berdiri di belakangku. Kutundukkan kepala sambil menggenggam kedua tangan ketika sosoknya datang dan berjongkok di hadapanku, "Kamu tidak ingin pertimbangkan lagi?"

Kugelengkan kepala sekilas, "Dorong lagi. masih ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Aku menangkap ekspresi tidak nyaman di wajahnya, aku tahu apa yang dia lihat di mataku dan aku tahu dia tidak pernah nyaman jika harus menghadapiku dalam situasi seperti ini. biasanya dia akan bertanya padaku apa masalahnya, apa yang aku inginkan, apa yang harus dia lakukan, tapi untuk saat ini, dia tahu semua jawaban itu tapi enggan memberikannya.

Ayunan kembali bergerak dan aku menikmati hembusan angin yang memainkan rambut dan menerpa wajah. Usiaku 20 tahun dia 21 tahun, kami berdua berada di sebuah taman yang sesekali dilewati anak-anak kecil yang bermain satu sama lain, tertawa, berbisik dan bahkan menyoraki kami lalu berlari saat aku menoleh menertawakan mereka.

"Aku bertanya-tanya kenapa kamu harus mengatakannya di tempat seperti ini."

"Kamu terlalu menyukai café untuk dikunjungi dan aku bosan," kudongakkan kepala sambil berpegangan pada kedua sisi rantai ayunan. Sesekali mataku menangkap wajahnya lalu langit sore setiap kali ayunan menjauhinya. Menjauhi si wajah yang tampak serius dengan dahi yang sesekali berkerut dan wajah tegas yang tampak jelas. Apa yang membuatku jatuh cinta pada laki-laki yang disebut sebagai si kaku di lingkungan kerjanya.

Pikiran itu mengundang senyum di wajahku, mengingatkanku pada pertemuan awal kami. Kesan pertamanku, dia adalah si kaku yang sulit bertoleransi dan hingga saat ini, kesan kaku itu masih mendarah daging padanya. Mungkin saja aku jatuh cinta padanya karena kekakuannya, prinsip-prinsipnya. Dia menopangku, membantuku mengatasi sisi-sisi lemah yang mendominasi.

"Ada apa?" tanyanya, mungkin heran melihat raut wajahku saat ini.

"Entahlah. Aku hanya suka melihat wajahmu di saat seperti ini."

"Maksudmu sebelum kita berpisah?"

Kuhentikan ayunan dengan kedua kaki untuk kembali ke titik awal, kudongakkan kepala melihat wajahnya yang mengalihkan pandangan kearah lain. Kadang aku merasa lelaki yang telah menjadi pacarku selama beberapa bulan ini terlalu keras pada dirinya sendiri. Sungjae selalu bersembunyi setiap kali aku menemukan titik-titik kesedihan dan kekecewaan di raut wajahnya, sesuatu yang menunjukkan bahwa dia mengharapkan sesuatu. Alasan lain kenapa aku mencintainya. Dia memberikanku kesempatan untuk menjadi wajah bagi kesedihannya.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang