Part 50

40 5 3
                                    

Bucheon, 2025

-Author POV-

Joy merasa seolah-olah dirinya terperangkap di tengah kabut tebal. Ia tidak tahu di mana ia berada atau ke mana ia berjalan. Ia pasti akan hilang ditelan kabut jika bukan karena tangan Sungjae yang menggenggam dan menuntunnya. Ia tidak tahu ke mana Sungjae membawanya, tetapi ia tidak peduli. Ia bersedia mengikuti Sungjae ke ujung dunia jika itu berarti ia bisa melepaskan diri dari kabut yang menyelimutinya ini.

Setelah mendengar pengakuan Bada, dunia Joy mendadak berubah kelabu. Ternyata sejak awal, ia bukan bayi yang tercipta dari cinta. Ia adalah bayi yang tidak diinginkan siapapun. Ia hanyalah aib bagi wanita yang mengandungnya. Ia adalah beban yang harus disingkirkan sesegera mungkin. Walaupun ia tahu ia kini memiliki orangtua yang menyayanginya, walaupun ia tahu kini hidupnya berarti, dirinya berarti rasanya tetap sangat sulit menyeret diri keluar dari perasaan terpuruk itu.

Joy merasa dirinya diguncang pelan. Kabut yang menyelubungi pikirannya menipis sejenak. Ia mengerjap. Ketika pandangannya kembali terpusat, ia menyadari ia sedang mendongak menatap wajah Sungjae yang cemas.

"Joy-ah? Kamu baik-baik saja?" tanya Sungjae, sebelah tangannya menggenggam tangan Joy, sementara tangannya yang lain memegang bahu Joy. "Katakan sesuatu."

Joy menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara dingin yang menyegarkan. Rasa sesak di dadanya terangkat sedikit. Udara segar. Di mana ini? ia menyapukan pandangan ke sekelilingnya dengan perlahan, seperti seseorang yang baru terbangun dari mimpi. "Taman?" gumamnya. "Katanya kita mau ke pameran?"

"Kupikir tempat ini lebih cocok untuk menjernihkan pikiran," kata Sungjae.

Joy kembali menarik napas dalam-dalam. "Ya," desahnya, "terima kasih."

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menembus taman dalam keheningan. Tangan kanan Joy masih berada dalam genggaman tangan kiri Sungjae yang hangat. Berusaha menyerap lebih banyak kehangatan itu, tangan kiri Joy juga memeluk lengan kiri Sungjae. Jika ia berpegangan pada Sungjae, ia mungkin tidak akan terseret ke balik kabut kelabu tadi.

"Bagaimana perasanmu sekarang?" tanya Sungjae, memecah keheningan singkat di antara mereka.

Joy mendesah. "Buruk," jawabnya jujur. Ia berpikir selama beberapa saat, lalu melanjutkan dengan perlahan, "Aku tidak bisa menyalahkan Bada karena ingin melupakan masa lalunya. Kurasa aku bahkan bisa memahami keputusannya untuk tidak mempertahankan bayinya. Tapi ketika aku teringat bahwa akulah bayi yang tidak diinginkan itu...rasanya mengerikan. Anehnya, aku juga merasa bersalah, seolah-olah akulah yang membuat hidupnya dulu begitu menderita, walaupun aku tahu aku sama sekali tidak punya alasan untuk merasa bersalah."

Sungjae berhenti melangkah dan menggunakan satu jari untuk menyentuh dagu Joy dengan lembut agar Joy menoleh kearahnya. "Kamu bukan anak yang tidak diinginkan," katanya dengan nada sungguh-sungguh. "Kamu terlahir untuk orang-orang yang menginginkanmu. Untuk orangtuamu di Jeju yang sudah mengharapkan bayi selama bertahun-tahun."

Joy tersenyum. "Aku tahu. Jangan khawatir. Aku butuh waktu untuk mencerna dan menerima semua ini, bahkan mungkin butuh waktu yang lama, tapi aku akan baik-baik saja." Katanya, walaupun lebih untuk meyakinkan diri sendiri. Ia menarik lengan Sungjae dan melanjutkan langkah. "Lagi pula, kamu pernah bilang kamu akan memastikan aku baik-baik saja."

"Tentu saja."

***

Mereka sudah meninggalkan taman dan berjalan jauh sembari tenggelam dalam pikiran masing-masing. Cukup lama keduanya saling diam. Kemudian sebuah pemikiran muncul di benak Joy.

"Aku tadi sempat menggambar sketsa wajah Rohee saat kamu sedang memesan taksi, aku takjub pada diriku sendiri, ternyata aku masih ingat wajah anak kita oppa, kamu mau lihat?"

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang