Part 11 (Upgrade)

57 24 7
                                    

Jakarta, 2018

Jelita POV

Siapa yang bilang menjadi ibu rumah tangga itu mudah? Ternyata menjadi ibu rumah tangga itu sangat melelahkan. Sampai-sampai rasanya aku butuh dipijat setiap malam. Selama ini aku hanya menyapu apartemen di pagi hari sebelum berangkat ke kantor dan sepertinya semua sudah bersih. Paling-paling hanya seminggu sekali beres-beres yang agak mengeluarkan tenaga. Itu pun kalau aku tidak pergi seharian bersama Angga.

Tapi sekarang, saat aku hampir 24 jam di dalam apartemen, aku jadi menyadari semua kekotoranku yang selama ini kasat mata bagiku. Debu-debu yang menempel di meja, buku-buku yang sering pindah ke bawah tempat tidur, kulkas yang sudah harus dibersihkan kotoran-kotoran yang begitu riangnya bergantung di belakang pintu dll.

Setiap hari ada saja yang harus dibereskan. Kalau begini caranya, sepertinya menjadi ibu rumah tangga bisa membuatku lebih lelah dan lebih stress daripada kerja kantoran.

Aku memaksakan diriku untuk terus produktif meskipun sudah tidak bekerja. Sesuai permintaan Angga, aku belajar masak! Akhirnya! Sebenarnya, aku belajar masak bukan karena aku mau, tapi karena aku harus. Pertama, karena aku hamil. Ini membuatku tidak boleh makan sembarangan. Kedua, karena kata orang, hati laki-laki bisa disentuh dengan memberinya makanan enak. Dengan kata lain, aku berharap Angga bisa semakin mencintaiku. Meskipun sebenarnya sebagian besar hasil eksperimen memasakku gagal total, tapi aku tetap yakin ini adalah proses.

Kalau kebetulan Angga pulang sebelum aku tidur, biasanya dia kupaksa menghabiskan semua hasil eksperimen memasakku. Dan dia mau. Tidak hanya itu, dia bahkan menyakinkanku kalau selalu ada kemajuan dalam proses belajar masakanku. Aku tahu dia hanya ingin membuatku senang. Tapi, dia berhasil, aku senang dan merasa usahaku tidak sia-sia.

Sebenarnya proses pemaksaan ke Angga untuk makan masakanku ini jarang sekali terjadi karena Angga tetap pulang malam meskipun dia tahu istrinya yang sedang hamil ini sendirian di apartemen sepanjang hari. Entah apa yang bisa membuatnya mengurangi kebiasaan lemburnya itu.

"Hi, sayang," sapa Angga ketika memasuki kamar.

Aku melirik jam dinding, tepat jam 12 malam dan dia baru pulang kantor, "Hi."

"Kenapa belum tidur?"

"Menunggu kamu." Jawabku singkat

"Kan sudah aku bilang tidak perlu menungguku. Nanti kamu kurang istirahat." Angga membelai lembut rambutku.

"Kalau aku tidak pernah menunggu kamu, kita tidak akan pernah bisa bicara, Mas" Aku berusaha membuat nada bicaraku sadatar mungkin.

Sedikit saja nada bicaraku lebih tinggi, pasti akan memancing kemarahan Angga.

Angga menarik napas dalam, "Jelita, aku tidak ada waktu untuk berdebat sekarang. Ada Ilham di luar, masih ada kerjaan yang harus dilanjutkan. Ini dia ikut aku pulang karena aku memaksa mau lanjut kerja di rumah. Tidak enak sama kamu kalau pulang terlalu malam."

Ilham adalah teman sekantor Angga yang juga teman dekat Angga sejak kuliah. Seperti aku punya Eryin. Angga punya Ilham.

"Jadi kamu masih mau lanjut kerja?" lanjutku. Ini sudah jam 12 malam dan suamiku ini sudah bekerja seharian. Dia dapat energy dari mana?

"Iya, tidak apa-apa, yang penting aku ada di sini," kata Angga sambil tersenyum.

Angga keluar kamar. Aku mengikutinya keluar dan melemparkan senyuman ke Ilham yang sudah duduk di meja makan. Laptopnya sudah terbuka. No wonder mereka bisa berteman, sama-sama gila kerja.

"Hi, Ka Ilham," sapaku.

"Hi, Dara. Makin sehat ya!" kata Ilham sambil tersenyum usil.

"Maksudmu, aku gemukan?" tanyaku sambil melotot.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang