Part 20 (Upgrade)

42 15 3
                                    

Bandung

Author POV

Jelita baru saja selesai berpamitan dengan istri sang mantan rektor, ketika ponselnya berdering. Dia buru-buru merogohnya dari clutch, takut itu dari keluarganya di Bandung. Nomor tidak dikenal terpampang pada layar dan dia mempertimbangkan untuk membiarkan voicemail menjawabnya, tapi akhirnya memutuskan menjawab, takut emergency.

Sebuah suara yang terdengar agak aneh, ia tidak mendengar jelas suara itu dan Jelita langsung mengonfirmasinya sebelum balik menanyakan identitas orang tsb, tapi tidak ada jawaban, kemudian sambungan terputus. Jelita menatap ponselnya dengan sedikit bingung sebelum memasukkannya kembali ke dalam clutch. Dia baru saja akan berpamitan pada Juwita dan Mahen ketika mendengar seseorang di belakangnya memanggil namanya. Otomatis dia langsung berbalik dan bertatapan langsung dengan Angga.

Angga, lelaki yang sudah membuatnya merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di sisinya, membimbingnya menjadi dewasa dan mengajarkannya arti dicintai dan mencintai. Angga jugalah lelaki yang sudah dia tinggalkan lima tahun lalu setelah sebuah peristiwa besar terjadi dalam pernikahan mereka. What the hell is he doing here?!

"Hi," ucap Angga yang kini sedang tersenyum lebar.

Jelita tidak bisa bernapas ketika melihat senyum itu. jangankan ingat kenapa dia marah pada Angga, dia bahkan tidak ingat namanya sendiri. Damn! Bagaimana mungkin setelah bertahun-tahun ini dan setelah apa yang sudah terjadi, Angga masih memiliki efek seperti ini terhadapnya? Tanpa dia sadari, matanya sudah berlari dari ujung rambut, hingga ujung kaki Angga sebelum kembali lagi ke wajahnya. Dunia benar-benar tidak adil. Angga bahkan kelihatan lebih tampan lagi daripada lima tahun yang lalu. Dia mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam yang jatuh dengan sempurna pada tubuhnya. Entah bagaimana, Angga kelihatan jauh lebih tinggi dan besar daripada dulu. rambutnya juga jauh lebih pendek dari terakhir kali Jelita melihatnya. Dan meskipun Jelita menyayangkan itu, karena dia ingat betapa dia senang melarikan jari-jarinya pada rambut Angga, tapi dia harus akui Angga kelihatan lebih cocok dengan potongan yang sekarang.

Seperti yang Jelita lakukan barusan, Angga juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Dia melarikan matanya ke rambut, mata, bibir, sebelum menghabiskan waktu agak lama pada dada dan pinggul Jelita. Tatapannya kemudian jatuh ke kakinya yang terpampang jelas karena gaun hijaunya berhenti tepat di lutut. Terakhir, tatapannya jatuh pada sepatu yang dikenakannya.

Jelita rasanya mau mati saja. Dia berharap dia masih kelihatan selangsing dan semenarik dulu, sesuatu yang sangat tidak mungkin mengingat dia pernah melahirkan seorang anak perempuan yang menyedot semua hormonnya. Dia ingat payudaranya sudah turun, lengan atasnya sudah tidak sekencang dulu dan garis-garis stretch marks yang sekarang menjalari perut dan bokongnya. Untuk pertama kalinya, dia menyesali kemasalannya berolahraga. Detik selanjutnya dia memarahi diri sendiri karena mengkhawatirkan pendapat Angga tentangnya.

"You look good, Jelita."

Ok, mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi apa suara Angga terdengar serak ketika mengatakan itu? sekilas, tatapan Angga kelihatan seperti orang kelaparan yang siap melahap steak di hadapannya. Dan Jelita terkejut sendiri ketika menyadari bahwa steak itu adalah dirinya. Saking terkejutnya, dia tidak tahu apa dia harus merasa tersanjung atau tersinggung dengan tingkah laku Angga ini. yang ada dia hanya bisa menganga. Kemudian dia sadar diri dan mulai marah dalam hati. Is he serious? Berani-beraninya dia menggodanya? Apa dia pikir bahwa dengan satu senyum dan pujian, Jelita bisa melupakan apa yang sudah terjadi di antara mereka? Well, lelaki ini gila kalau dia punya pikiran seperti itu.

Tanpa bisa menahan kemarahan yang mulai menderu memenuhi dadanya, Jelita berkata sinis, "Well, you still look like an asshole, Mas."

***

Flashback on

Jakarta

Jelita POV

Aku berdandan lebih feminin dari biasanya, aku sengaja memakai rok terusan dengan potongan dada yang lebih longgar dan leher yang jenjang dihiasi dengan liontion yang manis. Hari ini bukan hari libur, hanya hari Rabu biasa. Namun begitu, aku telah sepakat jauh-jauh hari untuk mengubahnya menjadi sebuah Rabu yang istimewa, sebab ini adalah tepat setahun pernikahanku.

Awalnya, aku berinisiatif untuk mengajak mengambil cuti di hari ini, namun Angga spontan menolak. Ia bilang ada proyek yang perlu dia selesaikan dan bahwa ia bersama timnya sedang mengelaborasi sebuah isu yang menarik dengan beberapa klien perusahaan tempatnya bekerja. Sebenarnya ini tidak menjadi masalah bagiku, namun penolakannya yang spontan, cukup membuatku terhenyak.

"Mas, kamu yakin bisa ke sini nanti? Aku tidak enak dengan mereka. Satu jam lagi, café akan tutup. Aku sudah terlanjur pesan," tanyaku melalui telepon.

"Jelita, sedang aku usahakan. Masih ada satu klien lagi, sedari sore tidak juga muncul, please tunggu ya, aku pasti datang sayangku."

"Sure? Aku sama sekali tidak masalah, kalau kita membatalkan..."

"Oke, pokoknya tunggu ya. Nanti kalau memang harus bayar biaya pembatalan, kita bagi dua."

"Aku tidak masalah dengan uangnya..." aku menutup teleponnya dengan mata yang gelisah. Aku tidak berharap banyak dari pernikahan ini. namun, pada hari yang istimewa ini, harapan akan sebuah pesta kecil pun tampak terlalu mewah untukku.

Bagiku, ini tidak seberapa dibandingkan toleransiku selama ini. kami jarang memiliki waktu untuk menonton film bersama. Sepulang kantor, masing-masing terlalu lelah, bahkan Angga mengkhususkan sebuah sudut di apartemen, untuk menghabiskan malam-malamnya dengan pekerjaan kantor yang seolah tidak pernah habis. Kami sungguh tidak seperti pasangan normal, tidak ada waktu untuk belanja bersama, hang out, ataupun apa sajalah.

Aku seolah tidak percaya, bahkan kami tidak adawaktu untuk duduk di teras, untuk minum teh sambil memandang bulan, yang sedianya dilakukan seminggu sekali.

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang