Part 22 (Upgrade)

38 9 4
                                    

Jakarta

Jelita POV

"Aku tidak bisa memaafkanmu," geram Angga menahan perasaannya.

"Kamu yang menyebabkan Raya anakku meninggal!"

"Anak kita!"

"Aku hampir mati ketika tahu Raya hilang."

"Aku malah sudah mati jika mereka tidak mengangkat tubuhku dari laut."

"Tapi itu salahmu! Bukan kesalahanku! Apa salahku padamu?"

"Mas tidak merasa bersalah sama sekali?" desisku getir, "Pernikahan kita sudah rapuh sejak awal sejak kau mengekangku untuk hidup sesuai dengan perintahmu, aku merasa bukan hidup sebagai seorang istri tapi hanya sebuah boneka, kamu yang merusak hidupku! Merusak impianku menjadi seorang penyanyi! Dan sekarang saat anak kita meninggal, kamu juga ingin menyalahkanku?!"

"Itu semua karena aku mencintaimu!"

"Dan di mana cintamu ketika kamu terus saja menyalahkanku atas apa yang terjadi dalam pernikahan kita, kamu egois mas!"

"Cinta itu sudah hilang bersama Raya! Kamu mengambil satu-satunya alasanku untuk hidup!"

"Baiklah, aku yang bersalah. Dan anggap saja Tuhan telah menghukumku dengan cara memisahkan kita dengan Raya selamanya, tolong maafkan aku mas"

"Batas anatara cinta dan benci hanya secarik tirai tipis," desis Angga dingin.

"Kalau begitu untuk apa kita pertahankan pernikahan ini, mas?" desahku getir.

***

Kejadian itu sudah dua jam berlalu. Dia masih belum kembali, seperti biasanya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Aku duduk saja di tempat tidur kami, masih mengenakan pakaian berkabung, sedari tadi.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Atau, bagaimana harus memastikan apakah dia baik-baik saja.

***

Ketika aku terbangun lagi, Angga tengah berdiri di ambang pintu, menatapku. Dia masih bersimbah keringat yang menempel di pakaiannya, tubuhnya yang biasanya berotot terlihat loyo dan kehabisan tenaga. Rambutnya hampir tampak hitam karena dikilatkan oleh peluh, sedangkan wajahnya pucat. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana, menatapku, tetapi kehadirannya, sikapnya, tidaklah menyiratkan pertanda buruk, mengingat emosi yang pasti dirasakannya saat itu.

"Mas?" tanyaku.

Tanpa mengucapkan apa-apa, dia berbalik dan berjalan menyusuri koridor ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian, aku mendengar pancuran dinyalakan. Aku duduk di tempat duduk, menunggu, tak yakin harus berbuat apa.

Akhirnya dia kembali, handuk dibelitkan di pinggang, dan dia pun langsung menuju ke lemari, mengeluarkan buntalan pakaian, lalu masuk ke kamar mandi lagi untuk berpakaian. Aku merapatkan kaki ke dada dan memeluk lututku. Aku masih berbaju hitam, masih mengenakan baju yang kupakai ke pamakaman Raya. Ini memang pantas, sebenarnya, mengingat bahwa satu hubungan lainnya, akan segera dikubur.

Ketika Angga masuk lagi ke kamar, dia tidak terlihat sehampa beberapa menit sebelumnya. Kini dia terlihat lumayan normal.

***

Aku bahkan tidak ingat apa yang memicuku membicarakan topik tsb, tetapi Eyrin memang sangat blak-blakan dan cerewet, selalu memancingku menceritakan hal-hal amat pribadi yang bahkan tidak dibicarakan oleh sebagian besar dari sahabat.

"Pertengkaran kita memang hebat. Tapi, butuh waktu lama sebelum kami punya nyali untuk berpisah."

"Kenapa?" tanya Eyrin.

"Aku tidak tahu pasti," kataku. "dia masih mau memelukku, menciumku, kami masih menonton TV bersama, kami masih berhubungan seks, tapi dia sepertinya tidak benar-benar hadir pada saat-saat itu. kau tahu, diatas kertas dia masih merupakan pria penyayang dan penuh perhatian yang sama dengan pria yang kunikahi, tapi pada kenyataannya hanya tubuhnya yang bertindak, pikiran serta hatinya tidak benar-benar terlibat. Sulit menjelaskannya, tapi hal seperti itu membunuhku secara perlahan tapi pasti."

***

Rencanaku meninggalkan Angga ternyata tidak berlangsung sebagaimana yang kuinginkan. Aku membawa lebih banyak baju dan segala macam hal yang biasanya kubawa serta ketika aku pindah, tetapi saat aku sampai di kaki tangga, aku mendapatinya sedang menungguku.

Angga sudah menebak bahwa aku akan pergi. Menebak? Bisakah kau mempercayainya? Dia jelas-jelas mengenalku lebih baik daripada diriku sendiri karena baru pagi itulah aku memutuskan hendak berbuat apa.

"Kumohon, jangan pergi," katanya pelan, menatap tas bawaanku dengan mata disipitkan seolah-olah kesakitan dan nyaris tidak dapat melihat, padahal sebabnya adalah karena dia tengah menahan tangis dengan kekuatan tekad semata.

"Aku sedang berusaha, aku berusaha keras sekali untuk menyingkirkannya dari kepalaku. Dan, aku ingin kita sama-sama berjuang dalam hal ini." Angga gemetar hebat karena berusaha keras agar tidak menangis

"Aku tahu ini tidak adil untukmu, itu masalahku, tapi kumohon, jangan pergi. Beri aku waktu, aku hanya butuh waktu. Aku akan berusaha lebih keras, aku janji."

"Aku tidak bisa membiarkanmu berbuat begitu," kataku kepadanya. "Mas, ketika kita mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, melihatnya terluka jauh lebih buruk daripada rasa pedih semenyakitkan apapun yang kita alami sendiri, yang sudah terjadi... jika kamu menganggap itu kesalahanku yang tidak becus menjadi seorang ibu... aku minta maaf, aku sungguh minta maaf, aku tidak tahu..."

Dengan tiga langkah, dia mengurangi jarak di antara kami dan merangkulku tanpa ragu-ragu, kemudian menciumku. Baru beberapa saat kemudian aku merespon, menjatuhkan barangku dan balas menciumnya. Seharusnya aku tidak melakukan itu, aku seharusnya tetap menjalankan rencanaku untuk pergi, tetapi melakukan ini rasanya tepat sekali. Mengusir semua keraguan, segala hal untuk menjelaskan seperti apa perasaanku padanya.

Setelah itu, kewarasan mulai menghampiriku, aku tahu aku tetap pergi, dan aku berharap dengan sangat semoga entah bagaimana, dia akan bahagia tanpa aku disisinya.

***

Kelopak mataku terasa panas, kubiarkan air mataku meleleh karen aku memang ingin menangis sepuas-puasnya. Kutumpahkan segela kesedihan dan penyesalanku, kukeluarkan segala yang menyesak di dadaku.

Kuambil kotak dari tas biruku.

"Raya, selamat ulang tahun sayang," gumamku.

Satu per satu kubuka bungkus kotak itu.

"Hanya ini yang dapat eomma berikan untukmu." Ucapku sambil mengeluarkan sebuah kotak musik dengan gambar dua sepasang kekasih yang sedang berdansa.

"Raya, maafkan mama sayang karena sampai saat ini pun mama belum bisa mengujungimu bersama papa, mama juga akan berusaha untuk menjauh darinya sekali lagi, tolong dukung keputusan mama ya sayang."

Belum sempat kulanjutkan perkataanku, sehelai daun menimpa wajahku meskipun saat itu tidak ada angin yang berhembus.

Mungkinkah Raya tidak suka jika aku berpisah dengan Angga, pikirku. Mungkinkah hanya kebetulan saja. Tapi, jika hanyakebetulan, mengapa setiap kali aku berkata seperti itu selalu ada tanda-tandayang mengisyaratkan tidak setuju dengan maksudku itu.

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang