Part 14 (Upgrade)

48 22 3
                                    

Bali, 2018

Dara POV

It's funny that most of the time the person you love the most, is also the person you hate the most. The person you wanna kiss, is also the person you wanna kill. The person you cannot live without, is also the person you wanna let go. For me, that person is Angga.

Jantungku berdebar lebih cepat saat melihat Angga ada di depan pagar rumah orangtuaku beberapa menit lalu. Aku takut dia membuat keributan saat melihat Lavian mengantarku pulang. Tapi ternyata aku salah, dia hanya diam. Dia diam saat melihatku datang bersama Lavian. Dia diam saat Lavian berpamitan kepadanya, dia diam saat memasuki rumah orangtuaku. Sampai detik ini, di mana dia sudah duduk di sisi tempat tidurku, dia masih juga diam. Aku duduk di sampingnya, tidak tahu harus bicara apa. matanya menatapku dingin seolah menunggu penjelasan dariku.

"Mas, mau apa kamu ke sini?" aku akhirnya buka suara duluan. I know, wrong sentence to start a conversation.

"Jemput kamu!" jawab Angga tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

"Aku mau di sini dulu."

"Supaya bisa ketemuan mantan pacar kamu lagi?" tatapan Angga masih dingin.

Sial! Aku menggeleng kepalaku. "aku mau menenangkan diri, mas."

Angga memejamkan matanya, diikuti dengan mengembuskan napasnya sekuat tenaga. Jari-jarinya memijat pelipisnya kencang. Aku hanya memandanginya, memaksa diriku agar tetap tenang tanpa apapun reaksi Angga nanti.

"Jelita, kamu pulang sama aku besok. Tolong, kamu patuhi aku sebagai suami kamu ya," kata Angga kemudian.

Suaranya tegas dan bossy, as always. Not this time.

"Selama ini aku terus menurut sama kamu. Apa yang aku dapat?" kataku pelan tapi tajam. Aku tidak mau orangtuaku mendengar pertengkaranku dan Angga.

"Aku sudah memberi semuanya ke kamu. Kamu mau apa lagi?" kata Angga dengan nada tidak kalah tajam.

"Semuanya?" tanyaku sinis, "memang hanya uang yang kamu punya, mas. Kamu tidak punya kemampuan untuk menghargaiku. Kamu tidak punya cinta untukku, kamu bahkan tidak punya rasa empati sama keluargaku yang terkena musibah. Aku lelah hidup sama orang yang tidak punya hati seperti kamu. Kamu pikir setelah kamu memberiku uang, kamu bisa bersikap seenaknya? Boleh menyakitiku seenaknya? Aku istri kamu, bukan wanita bayaran!" kata-kata itu meluncur begitu saja.

Wajahku terasa panas karena emosi. Angga diam. Lama. Matanya masih menatapku, tapi aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia merasa bersalah. Atau mungkin dia tersinggung dengan semua kata-kataku. But I don't care. It feels good to tell the truth. Minta maaf sekarang, mas! Minta maaf sebelum aku semakin membenci kamu!

"Jelita," Angga meraih tanganku, "aku mengerti kamu sedang hamil. Aku mengerti hormone kamu sedang tidak stabil. Sudah ya, jangan dibesar-besarkan masalah ini."

What?! Jadi, dia tidak merasa bersalah sama sekali? Jadi dia kira aku semarah ini karena hormon yang tidak stabil? Gila!

"Mas! Aku tidak pernah marah kamu pulang tengah malam setiap hari. Aku tidak pernah marah kita hampir tidak punya quality time. Kamu masih mau bilang hormone aku tidak stabil? Apa aku bilang, kamu tidak bisa menghargaiku! Lihat sekarang, kamu tidak bisa menghargai aku yang sabar menghadapi kamu yang tidak pernah perhatian sama aku!"

Angga melepaskan genggaman tangannya dan mengacak-acak rambutnya dengan kesal, "Kamu mau aku bagaimana? Di rumah terus biar bisa menemani kamu? Aku bekerja untuk kamu juga. untuk calon anak kita."

Aku membuang mukaku. Sudah kuduga dia akan menjawab seperti ini. klise! Bekerja untuk keluarga tapi justru tidak ada waktu untuk keluarga. Pointless!

"Terserah kamu, mas." Aku beranjak dari tempat tidurku. Sepertinya membicarakan ini semua dengan Angga sama sekali tidak ada gunanya. Dia bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun. hatinya mungkin sudah mati.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang