Part 16 (Upgrade)

45 19 5
                                    

Bali, 2018

Dara POV

Aku tidak tahu apakah keputusanku untuk melanjutkan pernikahanku dengan Angga tepat atau tidak. Aku tidak tahu apakah Angga benar-benar serius dengan ucapannya akan mengubah semua sifatnya. Aku bahkan tidak tahu apa aku mampu melupakan dan memaafkan semua hal menyakitkan yang dilakukan Angga kepadaku dulu.

Yang aku tahu, aku tidak mau nantinya menyesal karena tidak pernah mencoba. Prinsipku, lebih baik gagal setelah mencoba daripada gagal sebelum berusaha. Dan sekarang tidak ada yang lebih baik daripada berpikir positif dan meninggalkan semua kenangan buruk di masa lalu. Aku tidak mau terlalu banyak berpikir macam-macam. You know, too much thinking will make everything complicated.

So here I am, duduk manis di depan tv supaya tidak sibuk berpikir aneh-aneh, sambil menonton acara tidak jelas. But I enjoy it so much. Sudah lama sekali rasanya tidak menonton tv bersama ibu dan Juwita di rumah ini. ayah tentu saja masih istirahat. Padahal kalau ada ayah, pasti lebih seru. Dia paling hobi mengomentari apapun yang ada di tv.

"Apa Angga kalau kerja memang begitu ya?" ibu menatapku seolah minta penjelasan, "malam minggu katanya ada panggilan mendadak untuk bertemu klien?"

Aku mengendikkan bahu, "Dia memang workaholic, apalagi sekarang baru naik jabatan,"

Sepertinya ibu tahu kalau aku malas membahas topik ini. dia pun kembali ke acara tv.

"Gara-gara ada ka Dara, Ka Lavian jadi tidak kesini," kata Juwita sambil memainkan hpnya.

Hah? Maksudnya apa?

"Ka Lavian sekarang setiap malam minggu main ke sini," lanjut Juwita seolah membaca kebingunganku.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Main game sama aku, atau main catur sama Ayah. Dia pindah kerja di Bali. Kakak tidak tahu?"

Tentu saja aku tahu, tapi aku tidak tahu sama sekali selama tinggal di Bali dia justru sering mampir ke rumah orangtuaku.

"Kenapa mama tidak pernah bilang?" tanyaku ke ibu yang duduk disampingku.

"Dia kesini sebagai temannya Juwita, untuk apa bilang sama kamu?"

Kata ibu benar. Lagipula, aku sudah punya kehidupan baru dengan Angga. Pasti menurut ibu memang lebih baik untuknya tidak menyebut-nyebut nama Lavian lagi di hadapanku. Agak kurang pantas.

"Aku senang kalau Ka Lavian ke sini. dia sering bantu tugas kuliahku juga. ternyata dia pintar juga. terus kalau mengajariku itu sangat sabar, tidak seperti kakak," kata Juwita.

Aku hanya diam, tidak menanggapi omongan Juwita. Aku yang semula ingin menenangkan pikiran, justru sekarang jadi memikirkan Lavian. Sial.

Bagaimanapun juga aku salut dengannya yang masih mau berhubungan baik dengan keluargaku meskipun aku dengan ketus meminta Lavian pergi. Sudah sepantasnya dia mendapatkan perlakuan yang baik dariku.

Pesannya yang sejak tadi masuk bertubi-tubi mungkin lebih baik aku balas. Tunggu, mungkin lebih baik aku menelponnya. Supaya bicaranya juga lebih enak. Ok, I'll call him now. Pasti dia sedang melamun sendirian seperti Juwita.

"Dara, are you ok?" serunya ketika mengangkat telepon. Aku tahu Lavian mengkhawatirkanku sejak bertemu Angga. Mungkin dia ingin memastikan tangisanku tidak bertambah kencang.

"I'm ok, semuanya baik-baik saja,"

"Suamimu ada di situ? Kamu mau aku ke sana dan jelaskan semuanya ke dia?"

"No, dia sudah pulang ke Jakarta tadi."

"Sudah pulang?" tanyanya bingung.

"Lavian, kamu tidak perlu menjelaskan apapun. Aku dan suamiku baik-baik saja."

"Oh," tidak perlu melihat wajahnya, aku tahu dia kecewa.

"Lavian, sepertinya lebih baik kita tidak perlu bertemu lagi. aku adalah seorang istri, tidak pantas bertemu mantan seperti tadi. aku sangat salah."

"Berarti, sudah benar-benar tidak ada harapan untukku ya?"

"Lavian, kalau sekarang aku meninggalkan suamiku demi kamu, suatu saat aku bisa meninggalkan kamu untuk pria lain,"

"Tidak akan, kalau aku bisa buatmu bahagia. Dan aku janji selama aku masih bernapas, aku akan buat kamu bahagia. Aku tidak akan pernah membuatmu menangis seperti yang dilakukan suami kamu."

Bukankah manusia tidak pernah ada puasnya? Aku harus belajar untuk bahagia dengan apa yang aku punya. Itu artinya bersyukur.

"Dia memang membuatmu menangis, tapi dia juga yang bisa membuatku bahagia. Sometimes the one who makes you cry is also who can make you smile all over again."

Lavian diam. Entah apa yang sedang ada di pikirannya.

"Fine," jawabnya akhirnya, "tapi bukan berarti kita tidak bisa berkomunikasi sama sekali, kan?"

"Tidak bisa, Lavian."

"Why?"

"I have to admit, aku nyaman bicara sama kamu. Dari dulu aku selalu menganggap kamu lebih dari pacar, kamu itu seperti kakak untukku, seperti sahabat. I was addicted to you. Dan aku sadar, kondisi ini tidak bagus untuk pernikahanku." Kataku sambil berharap kata-kataku membuat dia merasa sedikit berarti meskipun tidak ada harapan untuk hubungan kita.

"I'm still wishing that one day you will cameback dan we will have our second chance."

"Stop wishing." Kataku pelan.

Lavian diam lagi, tapi semoga saja kata-kataku barusan cukup untuk membuat dia mau mengerti dan mundur.

"I hope you're happy with him," kata Lavian lirih, "take care Dara."

"You too."

This is the closure that we never had before. Lega rasanya.

***

Mahen POV

Bagiku, waktu lebih baik tidak dapat diputar kembali. Kenagan lebih baik tidak dapat disimpan seperti kaset. Lebih baik apa adanya, mengalir seperti seharusnya.

Bukan berarti tidak ada sesal karena banyak hal yang aku sesali.

Bukan berarti aku hidup dengan sempurna karena kesempurnaan adalah semu.

Namun, selepas mendengarkan perempuan itu bercerita mengenai masa kecilnya, aku mulai berpikir lain. Kisah demi kisah mengalir begitu saja dari mulut itu, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang sedang memeluk erat-erat boneka kucing kesayanagnnya. Membuatku menyadari, ada beberapa hal yang patut aku lindungi dan jaga.

Aku selalu beranggapan diriku tidak seberuntung Juwita, yang memiliki kenangan indah yang patut diingat berulang kali dan diceritakan kepada orang asing dalam sebuah perjalanan masa lalu. Ketika ditanya, 'kenangan apa yang ingin kamu simpan dalam kaset', aku kesulitan menemukannya dari masa laluku yang menghangatkan hati, yang dapat aku kisahkan kepada Juwita.

Aku pernah bahagia, tentu saja. Tapi, hal itu terasa seperti sesuatu yang sudah terlalu lama terjadi.

"Tidak pernahkah kamu merasa bahagia karena hal-hal kecil, saat steak pesananmu di restoran dimasak dengan kematangan sempurna, seperti yang kamu sukai? Atau lagu favoritmu tiba-tiba diputar di radio, saat kamu berada dalam perjalanan yang macet dan menyebalkan. Juga hujan yang berhenti turun, sesaat sebelum kamu berjalan ke luar dan baru sadar kalau kamu lupa membawa payung."

Aku jarang memperhatikan kesederhaan dalam hal-hal kecil semacam itu. Bagiku, hari-hari baik berhubungan erat dengan hal besar dan luar biasa, seperti negosiasi bisnis yang berjalan lancar, saldo bank yang bertambah, dan saat nilai saham perusahaan melonjak drastis. Keberuntungan dan kebetulan adalah cara pandang manusia lemah yang mengharapkan keajaiban.

Aku tidak naif. Bagiku, dongen dan kisah upik abu hanyalah bualan belaka. Hidup bahagia selama-lamanya adalah janji kosong. Ya, aku terbiasa sarkas seperti ini. Aku lebih suka menyebutnya realistis.

Namun, perempuan di hadapanku ini percaya, saat dunia berubah gelap, hanya hal-hal kecil semacam itu yang menjaga segala sesuatunya tetap terang.

Aku tidak tahu apakah harus memercayainya atau tidak. 

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang