Part 3 (Upgrade)

94 35 19
                                    

Jakarta, 2016

Author POV

"Sebenarnya kita mau kemana?"

Suara itu mengandung protes sekaligus menuntut jawaban dari Jelita yang tampak tak peduli dengan pertanyaan yang telah diajukan. Sekalipun pertanyaan itu dilatunkan berulang-ulang kali sejak lelaki itu menjemput Jelita yang saat ini duduk di sampingnya.

Di awal perjalanan, setiap kali mereka berbelok, hingga saat ini ketika mereka harus melewati deretan rumah-rumah sederhana di lokasi yang terhitung asing bagi Angga.

"Tenang saja, sebentar lagi kita sampai," jawab Jelita sekedarnya. "setelah ini belok kiri."

Angga hanya menghela napas. Dibangunkan oleh sebuah telepon di Minggu pagi bukanlah hal yang menyenangkan. Terlebih lagi menuruti permintaan yang tak jelas ujungnya ke mana.

Jelita menoleh dengan tatapan tanpa rasa bersalah. Sikunya masih bersandar pada sisi jendela ketika ia memamerkan giginya yang berderet rapi. "Kenapa? Kamu takut sebenarnya aku sedang memperalatmu untuk memindahkan mayat? Kamu tidak tahu isi kardus yang kamu angkat tadi kan?"

Kemudian Jelita terkekeh ketika Angga memasang ekspresi jijik dengan dahi mengerut dan bibir atas yang terangkat. Jijik pada guyonan tak lucu yang ia dengar.

"Apa yang kamu tonton tadi malam? Ucapanmu tak ada lucu-lucunya."

Jelita bersenandung ringan sebelum berkata, "Hanya sebuah drama serial polisi. Kamu harus menontonnya lain kali."

Angga mendengus. "Jangan bercanda!" ia memutar setir memasuki halaman dengan pohon-pohon besar yang dibatasi oleh dinding-dinding tinggi, rumput yang terhampar hijau tempat dua ekor kelinci mengunyah sarapan mereka. "Disini tempatnya?" ada keraguan dalam nada suaranya.

Penumpang di sampingnya mengangguk cepat, "Kenapa memangnya?"

Sebuah papan penanda berdiri tegak di salah satu sisi. Tertulis nama panti asuhan dengan huruf balok hitam, di atas papan berwarna putih kusam, "Panti asuhan? Dalam rangka?"

Pemilik rambut hitam kelam yang sedang menguncir kuda rambutnya, menjawab tanpa memandang lawan bicara di sampingnya. "Aku selalu ke sini setiap akhir bulan. Apakah itu masalah?" ia menatap lelaki di sampingnya setelah menepuk pelan kedua sisi kepalanya. Rambutnya telah terikat rapi dan tangannya telah meraih pintu hendak membukanya.

"Kenapa tidak kamu beri tahu tadi? kalau tahu kita akan ke sini aku akan memakai pakaian yang lebih rapi."

Jelita menatap lelaki yang duduk di sampingnya, dari ujung rambut hingga sepatu yang ia kenakan. Celana jeans, kaos yang sudah kusam warnanya, rambut yang berantakan, lelaki itu berusaha menyisir rambutnya dengan tangan sambil berkaca pada spion mobil.

"Tenang saja, kamu tetap terlihat menarik walaupun berpenampilan seperti gembel," Jelita terkekeh saat membuka pintu, meninggalkan Angga. Lelaki yang sejak tadi menjadi supirnya, masih sibuk berkaca dan merapikan baju lusuh yang tak sempat Ia setrika tadi pagi.

Sesaat perhatian sang lelaki yang terpusat pada spion, teralihkan pada pacarnya. Pada Jelita yang tertatih-tatih melewati mobil, mengangkat kotak yang sejak tadi menjadi penghuni bagasi.

Ia pun cepat-cepat keluar, mengunci pintu dan mengejar Jelita sambil berlari kecil, "Berat? Lelah? Mau dibantu angkat?"

"Kamu marah kan karena salah kostum? Balas dendamnya seperti ini?" Jelita melengos mengabaikan Angga yang tertawa-tawa, melihat bagaimana pacarnya berusaha keras untuk bertahan memindahkan kotak. Tertatih-tatih bahkan sekali terhenti menghela napas, mengumpulkan tenaga.

"Permisi," Jelita meletakkan kotak yang dibawanya di atas lantai, tepat di ruang tamu panti asuhan yang terbuka. Ruang tamu yang dikelilingi ruangan-ruangan berpintu kayu dan jendela bertirai yang tersingkap sedikit, ketika anak-anak panti mengintip penasaran. menebak-nebak siapa yang mengunjungi mereka hari ini. mata-mata kecil itu mengalihkan perhatian Jelita dari ruang tamu yang kosong. membuatnya berpaling dan melambaikan tangan kearah mereka.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang