Part 18 (Upgrade)

42 17 3
                                    

Bandung

Jelita POV

Aku tersenyum lebar dan membungkuk untuk yang terakhir kali sementara tirai mulai diturunkan diiringi tepuk tangan penonton. Pertunjukan malam ini berjalan lancar. Tidak ada lirik yang terlupakan, tidak ada suara yang pecah dalam usaha mencapai nada tinggi, tidak ada kesalahan apapun.

Orchestra memainkan lagu penutup dan para penonton bersiap-siap keluar dari teater. Aku turun dari panggung bersama rekan-rekan kerjaku, menyusuri koridor-koridor dan tangga-tangga sempit di belakang panggung untuk kembali ke ruang ganti.

Sebagai seorang penyanyi teater, aku mendapat kamar ganti pribadi. Ruangan ini sama sekali tidak besar. Satu-satunya jendela yang ada menghadap ke lorong sempit di samping gedung teater. Ruang ganti ini dilengkapi wastafel kecil, meja rias yang penuh sesak dengan berbagai macam perlengkapan rias, dua karangan bunga, beberapa boneka hadiah dari penggemar dan termos kosong yang tadinya berisi air lemon hangat untuk melemaskan pita suaraku. Permukaan cermin rias, yang dikelilingi bola-bola lampu, nyaris seluruhnya tertutup foto-foto, kartu-kartu ucapan dan kertas memo warna-warni.

Kamar ganti ini memang sempit, tetapi aku menyukai privasi yang kumiliki. Dulu ketika aku baru memulai karier di panggung pertunjukan sebagai bagian dari backing vocal. Aku harus berbagi ruang ganti sempit dengan tiga atau empat penyanyi lain. Walaupun aku menikmati masa-masa penuh canda, tawa dan gossip itu, aku lebih memilih ruang sendiri untuk merenung dan menenangkan diri di akhir pertunjukan.

Aku melepas wig  dan kostum dengan cepat. Setelah itu aku menjatuhkan diri ke kursi di depan meja rias. Aku mulai menghapus riasa wajahku yang tebal. Wajah yang polos tanpa riasan terlihat jauh lebih sederhana daripada yang terlihat di atas panggung. Mata yang besar dan cokelat. Aku selalu merasa wajahku sangat biasa, tetapi aku suka bentuk hidungku. Itu adalah satu-satunya bagian wajah yang menurutku mirip orangtuaku.

Aryan dan Rini memang bukan orangtua kandungku, tetapi mereka sudah mengasuhku sejak aku masih bayi. Bagiku mereka adalah orangtua terbaik di dunia.

Aku kemudian beralih melepas jepit-jepit yang menahan rambut asliku, membiarkan rambut cokelat gelap jatuh tergerai di bahu. Rambutku yang lurus alami membuat wajah yang biasa-biasa ini terlihat sedikit lebih misterius.

Aku memandang bayangan wajahku selama beberapa detik, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Ada dua pesan masuk. Aku membuka pesan pertama.

Pesta dengan kolega kerjaku, bulan depan. Aku harus hadir dan diharapkan mengajak pasangan. Kau punya waktu?

Aku membalas, tentu. Jam berapa dan dimana?

Lalu aku beralih ke pesan beriku, pesan dari Juwita dan Mahen.

Pertunjukan yang hebat, ka! Kau luar biasa! Kami akan pergi untuk menghadiri acara penggalangan dana dari kantor yang berada di sebelah gedung teatermu. Cepatlah kemari kalau kau sudah selesai.

Aku tersenyum. Pasangan pengantin baru Juwita dan Mahen, mereka datang ke Bandung untuk datang menonton pertunjukanku dan mengajakku makan malam bersama sebelum mereka terbang pulang ke Jakarta besok.

Aku bergegas berganti pakaian, meraih tas kecilku dan berjalan keluar dari kamar ganti. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekanku sesama penyanyi dan para actor dan staf produksi yang berpapasan denganku dalam perjalanan ke stage door.

***

Angga POV

Aku sedang berkonsentrasi penuh membalas email yang dikirim oleh salah satu anggota tim di Jakarta ketika ponselku berdering. Nama Naya berkedip-kedip di layar. Naya tidak pernah menelponku selama aku di Bandung, biasanya sepupuku ini langsung video call. Dengan sedikit waswas, aku buru-buru menjawab panggilan itu.

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang