Part 10 (Upgrade)

55 24 2
                                    

Jakarta, 2018

Jelita POV

Pagi ini aku dibangunkan oleh rasa pusing seperti baru saja naik roller coaster tujuh kali. Tidak hanya itu, rasa mual juga datang begitu hebat. Inikah yang disebut orang-orang dengan morning sick?

Aku mengumpulkan seluruh energiku untuk beranjak dari tempat tidur, tanganku menjangkau apapun yang bisa aku pegang agar aku tidak terjatuh. Seingatku, aku belum pernah sepusing ini seumur hidupku. Oh God. Jangan sampai aku harus mengalami hal ini setiap pagi selama aku hamil, bisa-bisa aku minta cuti selama Sembilan bulan penuh. Itu pun kalau aku tidak segera dipecat.

Seperti kurang sempurna penderitaanku pagi ini, Angga tidak ada di sampingku saat aku terbangun. Saat membuka pintu kamar, aku berharap menemukan Angga tertidur di sofa depan tv. Tapi nihil, Angga tidak ada. Dia tidak pulang setelah pergi meninggalkanku semalam.

Where are you, mas?

Aku sangat benci kebiasaan Mas yang satu ini. dia selalu pergi meninggalkan apartemen setiap kali ribut denganku.

Alasannya selalu sama: ingin menenangkan pikirannya. Right, pikirannya tenang, pikiranku makin kalut. Memangnya dia pikir aku tidak khawatir memikirkan dia ada di mana? Heartless!

Aku segera menuju kamar mandi. Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan Mas sekarang. Badanku sendiri sudah hampir tumbang ketika memasuki kamar mandi dan sukses muntah-muntah. Aku berpegangan erat pada dinding kamar mandi. Aku tidak boleh pingsan sekarang tidak ada satu orang pun yang akan menolongku. Aku harus kuat demi anak dalam kandunganku ini.

Entah dari mana datangnya, Angga tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu ketika aku merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Hanya tinggal cairan pahit yang keluar dari perutku. Angga memadangiku. Dia memandangku iba. Pandangannya teduh, beda sekali dengan semalam.

Tapi aku justru semakin mual melihat wajahnya. Rasanya ingin aku tendang ke kolam buaya. Aku membersihkan mulutku dan berlalu begitu saja saat keluar dari kamar mandi. Aku tidak bisa melihat mukanya sekarang. Hatiku masih terlalu sakit dengan kata-katanya semalam. Lebih baik sekarang aku tidur lagi, berharap pusing ini bisa hilang setelah dibawa tidur. Lagipula, aku baru tidur subuh tadi karena menangis semalaman.

"Sakit ya?" Angga mengikutiku ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Iya," jawabku sambil mengganti posisi tidur. Membelakanginya.

"Mau ke dokter?" tanya Angga sambil membelai lembut rambutku.

"Tidak usah!" aku menepis tangannya dengan kasar.

"Tapi kamu sedang hamil, Jelita. Apa tidak lebih baik cek ke dokter? Aku antar ya,"

What do you want, mas? Semalam kamu meninggalkan aku begitu saja! Menuduhku hamil dengan pria lain! Sekarang kamu bersikap baik mau mengantar aku ke dokter! Dasar aneh!

"Kenapa baru sekarang kamu ada niat mau antar aku dokter?" kataku pelan tapi tajam. Mati-matian aku menahan diri supaya tidak menangis sekarang.

"Maafkan aku," Angga mencium rambutku.

"Buat apa kamu minta maaf kalau besok-besok kamu ulangi lagi? kamu selalu seperti ini! kamu selalu pergi setiap kali kita menghadapi masalah. Mau sampai kapan kamu seperi ini?"

Tiba-tiba aku meyadari satu hal. Angga benar, dia memang belum siap menjadi ayah, belum siap punya anak. Dia bahkan belum bisa menghadapi masalahnya sendiri. Umurnya memang sudah 24 tahun, tapi dia sama sekali belum dewasa. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa membesarkan dan mendidik anaknya nanti?

"Semalam, aku terlalu kaget. I can't think clearly."

Basi! Aku bahkan terlalu malas untuk merespon statement egoisnya itu.

"Jelita, maafkan aku. Aku janji tidak akan pergi lagi saat kita sedang bertengkar, aku janji akan selalu menjagamu selama kamu hamil. Trust me, Jelita!"

"Kenapa? Kamu bahkan tidak yakin ini anak kamu, kan?" air mata mulai menetes di pipiku, I hate crying in the morning!

"Maaf, Jelita. Aku benar-benar minta maaf. Aku percaya itu anakku. Semalam aku kalut, Jelita. Maafkan aku."

Dadaku sesak. Sangat sesak sampai aku tidak sanggup menjawab kata-katanya.

"Please say something," Angga kembali membelai rambutku, "Jangan nangis terus ya"

Aku membalikkan badan dan duduk menghadapnya dengan mata menatap tajam kearahnya.

"I hate you, mas. I hate you! I do everything for you dan bisa-bisanya kamu kira aku hamil dari pria lain!" kata-kataku kuatur setegas mungkin meskipun masih terbata-bata di sela tangisanku.

"Iya, aku salah, Jelita. Maafkan aku." Angga memelukku. Lama.

Aku memukulnya sekuat tenaga, menyalurkan semua kebencianku terhadapnya. Tapi dia tetap memelukku erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu persis, pelukannya adalah kelemahanku. It's always warming and calming. It's like a magical thing. Perlahan tapi pasti, pelukannya selalu berhasil membuatku berpikir setelah ini semua akan baik-baik saja.

"Kita ke dokter ya, Jelita" kata Angga setelah tangisku benar-benar berhenti.

Dia menghapus sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipiku. Aku diam. Ingin sekali aku menolaknya, tapi hati kecilku tidak mampu.

"Kamu mandi dulu ya, aku mau mengabarkan sekertarisku, mau bilang hari ini aku tidak ke kantor. Aku akan temani kamu, kamu juga tidak perlu ke kantor dulu. istirahat saja."

Seperti biasa, seperti kuda yang dicambuk, aku kembali menuruti semua kata-katanya. Well, at least this one is for a good thing.

***

Bali

Mahen POV

Sudah pukul berapa sekarang?

Aku memfokuskan pandangan pada jam kulit yang melingkari pergelangan tangan.

Ivy Cafe. Tempat ini belakang menjadi area melarikan diri yang bagus untuk melepas penat sejenak, sebelum kesibukan perjalanan dinasku dimulai lagi menjelang fajar tiba. Untuk menyendiri dan mencari sunyi, karena belakangan ini aku terlalu sibuk dengan ramai dan rumit. Tempat aku tidak mengenal siapa-siapa dan tidak dikenal, saat aku tidak akan dinilai dan tak perlu menilai.

Banyak Bar lain yang menawarkan konsep lebih modern, lebih high -end, lebih mantap. Namun,aku justru merasa nyaman dengan yang ini. Sebuah rumah taman yang kelihatan sudah dibangun sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

Sedikit berunsur kolonial. Pekarangan luas dengan kursi-kursi rotan dan lampu-lampu cantik di sekitarnya. Lantainya berderit-derit ketika diinjak. Cat yang mulai mengelupas begitu saja, justru memberikan kesan usang yang antik. Kursi kayu dipadukan dengan sofa kulit warna cokelat, dengan sentuhan bergundi di sana sini. Sebuah bar bersarang di sudut ruangan, kabinetnya penuh dengan beraneka ragam wine sekian tahun. Seorang lelaki paru baya sibuk lalu-lalang ke sana kemari, mengobrol dengan tamu, sesekali melayani, sesekali merokok di samping pintu masuk.

Dan perempuan itu, yang terus mengetik di tepi jendela. Sesekali, jika sinar bulan sedang terang, dia terlihat bercahaya.

Aku bukan tipe orang yang gemar memperhatikan orang. Bahkan, sebenarnya, aku sangat mudah melupakan wajah. Aku lebih mampu mengingat nama, tetapi selalu gagal mengasosiasikan nama tersebut dengan wajah pemiliknya. Itulah guna seorang asisten pribadi, yang kerap kali membsisikkan nama orang-orang penting atau menyelipkan bantuan, sebelum aku menyerah kalah dan menyapa semua orang tanpa sebutan nama.

Namun, perempuan ini... ada sesuatu mengenainya yang membuatku memperhatikannya. Aku punya perasaan, akan mengingat wajah sang perempuan untuk waktu yang sangat lama.

To Be Continued

RUNTUH✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang