30

1.2K 146 55
                                    

Beberapa bulan sudah berlalu, akhirnya hari dimana aku akan menikah akan segera tiba. Jujur aku merasa begitu gugup, karena besok statusku akan benar-benar berubah. Aku akan menjadi istri dari seorang laki-laki yang selama ini memporak porandakan hatiku. Selain itu, aku tidak tau apakah ini kabar baik atau tidak, karena selepas kejadian waktu itu aku tidak hamil. Karena Ayah ku sempat beberapa kami menyinggung soal itu dengan raut wajah tidak sukanya.

"Lea, kau sudah siap?" tanya Jimin yang sedang sibuk memasangkan jam pada pergelangan tangannya.

Sore ini kami berencana ingin bertemu dengan Jihan dan Jiya, putri Jimin. Dan ini adalah kali pertama aku bertemu dengan keduanya, karena Jihan yang baru pulang ke Korea lagi sekaligus untuk menghadiri pernikahan kami.

Karena Jimin dan putrinya terpisah beda negara, Jimin juga hanya bisa menghubunginnya lewat video call. Mungkin Jimin memang bisa kapan saja terbang ke Amerika hanya untuk menemui putrinya, namun karena dia sibuk untuk mempersiapkan pernikahan kami, jadi dia tidak melakukannya.

"Aku sudah siap," setelah itu kami langsung berangkat untuk menuju ke tempat pertemuan. Rasanya aku benar-benar gugup, namun di satu sisi aku juga excited. Aku bahkan merasa gemas sendiri setiap kami video call untuk melihat keadaan Jiya, anak perempuan itu benar-benar lucu dan menggemaskan. Aku tidak sabar untuk melihatnya secara langsung.

Saat mobil kami sudah sampai, Jimin lalu membukakan aku pintu kemudian menuju ke tempat dimana Jihan dan Jiya berada.

"Kalian sudah lama menunggu?" tanya Jimin saat kami sudah berhasil menemukan keberatan Jihan dan Jiya.



"PAPA!" teriak Jiya berlari ke arah Jimin dan langsung digendong oleh Jimin. Meskipun jarang bertemu keduanya tampak terlihat begitu dekat, mungkin ini yang dinamakan hubungan anak dan ayah.

"Jihan," ucap Jihan lebih duluan mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.


"Lea," ucapku sambil membalas uluran tangannya.


"Bagaimana jika kita masuk kedalam saja, biar bisa bicara sambil duduk," ajak Jihan membuat aku dan Jimin mengikuti nya masuk kedalam.

Tidak semua anak kecil bisa gampang akrab dengan orang lain. Berbeda halnya dengan Jiya, anak perempuan itu gampang akrab sekali dengan siapa saja, termasuk aku. Selain wajahnya yang lucu dan menggemaskan, Jiya juga sangat cerdas. Terlihat dari umurnya yang masih empat tahun namun dia sudah bisa menggunakan dua bahasa. Bahasa Inggris dan Korea, awalnya aku pikir Jiya hanya bisa menggunakan bahasa Inggris karena dia besar di Amerika. Namun aku keliru, Jiya bahkan juga fasih dalam berbahasa Korea.


"Aku dan Jiya berencana akan menetap di Korea," beritahu Jihan pada kami.

"Kau serius?" tanya Jimin dengan raut wajah yang begitu senang, aku tau Jimin senang karena dia tidak akan berpisah lagi dengan Jiya. Tapi entah mengapa aku malah merasa cemburu.

"Aku pikir aku sudah lama meninggalkan Korea, aku juga rindu tinggal disini," lanjut Jihan lagi sebelum Jiya berteriak merengek kepada Jimin.


"Papa, aku ingin jalan-jalan," ajak Jiya memohon pada Jimin.


"Kita akan jalan-jalan nanti, tapi tidak sekarang," ucap Jimin agar Jiya tidak cerewet, sebagai anak-anak wajar jika Jiya merasa bosan.

𝐏𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang