32

1.2K 133 48
                                    

Menjadi seorang istri membuat aku tergerak untuk belajar aneka masakan. Aku juga belajar membuat kue meskipun beberapa kali aku sempat gagal namun Jimin tetap menyemangati ku. Dia bahkan memakan kue buatan ku yang gagal, dan mengatakan jika itu enak. Meskipun aku tau dia hanya tidak mau membuat aku merasa bersedih.



"Kau sudah mengobati tangan mu?" tanya Jimin sambil meraih tanganku, tadi siang tanganku sedikit melepuh karena terkena oven panas.


"Aku sudah mengolesnya dengan salep," lagipula itu hanya luka kecil karena aku yang kurang berhati-hati.

"Jangan terkena air dulu sampai luka mu sembuh," ucapnya menasehatiku. Jimin kemudian membawaku kedalam pelukannya, mengusap-usap punggungku pelan. Membuat aku mengantuk ingin segera tidur dalam dekapannya. Bahkan film kesukaanku di televisi tidak aku hiraukan lagi, karena malam ini aku ingin tidur lebih awal.




Melihat aku yang sudah tertidur aku merasakan tangan Jimin bergerak meraih remote tv untuk mematikannya.

Namun belum lama aku tertidur suara deringan handphone Jimin membangunkan tidurku. "Iya, Jihan ada apa?" mendengar Jimin menyebutkan nama Jihan entah mengapa aku merasa mood ku jadi turun drastis.


"Apa? iya aku akan segera kesana," ucap Jimin lagi sambil sedikit melirik ke arah ku.



"Ada apa?" tanya ku penasaran.


"Jiya sakit aku harus segera kesana," kemudian Jimin segera melepaskan rangkulannya dari tubuhku, membuat aku entah kenapa merasa sedih.

"Apa sakitnya parah?" bukannya mau melarang Jimin atau apa, tapi jika hanya demam biasa apa perlu Jimin harus kesana sekarang ini sudah malam.

"Aku juga tidak tau, karena itu aku mau mengeceknya," sahut Jimin yang tengah mengambil jaketnya bersiap-siap mau pergi.



"Jimin aku ingin ikut."



"Lea ini sudah malam, kau istirahat saja. Besok kita akan menjenguk Jiya bersama-sama," larang Jimin membuat aku ingin sekali protes tapi tidak jadi saat melihat Jimin keluar begitu saia dari dalam kamar.

Aku tau jika sesuatu menyangkut Jiya pasti Jimin akan melakukan apa saja, bukannya aku cemburu terhadap Jiya. Hanya saja aku tidak suka melihat kedekatan Jihan dan Jimin yang entah kenapa rasanya sangat menggangguku. Bahkan hampir setiap hari Jihan menghubungi Jimin hanya untuk memberitahu perkemhangan Jiya setiap harinya, padahal Jimin juga sering mampir ke rumah Jihan untuk menemui Jiya.


Aku juga tidak masalah jika Jiya menginap disini, aku bahkan akan sangat senang sekali merawat Jiya seperti anak ku sendiri. Dengan begitu Jimin tidak akan jauh dari Jiya, namun sayangnya Jihan tidak pernah mengizinkan itu.

***

Jimin tampak tergesa-gesa keluar dari mobilnya, dia langsung masuk kedalam untuk menemui Jiya. Melihat keadaan putri kecilnya yang sedang merengek setengah menangis Jimin langsung bergerak menghampirinya.



"Papa hiks," tangis Jiya pecah saat Jimin baru saja datang.


"Jiya-ah kenapa menangis?" gumam Jimin panik sendiri, ditambah badan putrinya yang terasa panas saat Jimin memeluknya.


"Daritadi Jiya menangis terus memanggil nama mu," jelas Jihan ikut duduk di tepi ranjang.


"Apa dia sudah minum obat?" tanya Jimin memastikan.


𝐏𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang