48

1.1K 129 17
                                    

Saat membuka kulkas, aku dibuat bengong cukup lama melihat isi kulkas yang dipenuhi oleh bungkus makanan kosong yang tidak dibuang. Kaleng-kaleng minuman dingin, bahkan beberapa sayuran disana sudah membusuk saking lamanya tidak dibersihkan. Membuat aku seketika merasa mual karena mencium bau busuk dari sayuran tersebut, Tidak bisa aku bayangkan jika aku harus membersihkan sayuran-sayuran tersebut.

Niat awalku pagi ini ingin membuatkan Jiya bekal makanan, melihat persediaan makanan di dalam kulkas banyak yang sudah tidak layak. Hal itu membuat aku memilih untuk hanya memasakkan Jiya sosis dan nugget goreng. Menyusun potongan-potongan sosis dan nugget itu ke dalam tempat bekal, kemudian memasukannya ke dalam tas milik Jiya.

"Jiya, Papa mana?" tanyaku pada Jiya yang sudah selesai bersiap-siap. Saat ini Jiya bahkan sudah hampir selesai memasang sepatu miliknya.


"Papa masih tidur," jawab Jiya membuat aku menghembuskan nafas berat.


"Kalau begitu Jiya kesekolah Mama antar, ya?" tawarku, walaupun perutku sudah semakin membesar tapi aku rasa aku masih bisa menyetir mobil.

"Mama Jiya biasanya kesekolah naik bus," jelas Jiya memberitahuku, sebelumnya aku mengira jika selama ini Jimin lah yang mengantar Jiya kesekolah. 

"Busnya sudah datang!" teriak Jiya heboh saat mendengar klakson bus di depan rumah. Aku turut menoleh karena sedikit kaget akan teriakan Jiya barusan, kemudian mengantarkan Jiya kedepan rumah. Sampai bus yang membawa Jiya didalamnya hilang dalam pandanganku, barulah setelah itu aku masuk kedalam rumah.



"Jiya sudah berangkat?" ucap Jimin membuat aku terkejut setengah mati, ditambah dia yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.


"Yaaak! kau mengejutkanku tahu!" pekikku sambil memegang dadaku masih syok.

"Mianhae," sesalnya merasa bersalah, "Kau sudah sarapan?"

Aku menganggukan kepala, "Aku sudah makan roti dan minum susu, kau mau sarapan apa biar aku buatkan?"



"Aku masih kenyang."


Mendengar jika Jimin masih belum ingin sarapan, aku berniat ingin membersihkan kulkas. Tapi baru saja aku membuka kulkas dan mengimbang-imbang ingin membersihkan mulai dari mana. Sebuah tangan sudah lebih duluan mendekapku dari belakang.


"Jimin—ahn," desahku saat bibir Jimin terasa semakin liar di leherku.


"Katanya untuk memudahkan saat proses melahirkan, ibu hamil harus sering dikunjungi oleh suaminya," sepertinya otakku sudah terlalu pintar untuk memahami kata-kata mesum dari Jimin barusan.

"Aku ingin melahirkan caesar," balasku asal, bukannya bermaksud menolak apa yang Jimin inginkan. Tapi aku hanya merasa tidak percaya diri jika tubuhku dilihat oleh Jimin. Pasti akan tidak enak di pandang, apalagi dikondisi aku saat ini yang sedang hamil besar.

"Kau serius ingin melahirkan secara caesar?" tanya Jimin merasa terkejut. Padahal aku tidak serius mengatakan itu, karena jika aku sanggup dan bisa melahirkan secara normal aku pasti akan lebih memilih melahirkan secara normal.



"Tidak tau."



"Kau menolak ku?" tiba-tiba Jimin jadi berucap demikian, membuat jantungku berdebar dengan begitu cepat takut jika Jimin tersinggung. Membuat aku membalikan tubuhku agar dapat melihat wajahnya. Saat kami sudah saling berhadapan semuanya jauh dari ekspetasiku, wajah Jimin tetap terlihat teduh dan tenang bukan terlihat marah dan kecewa seperti yang aku bayangkan sebelumnya.



𝐏𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang