51

1K 123 23
                                    

Beberapa kali kain itu dicelupkan kedalam air didalam ember, diperas hingga kering kemudian Lea membersihkan permukaan lantai dengan kain pel. Sementara Jimin sedang sibuk berfokus pada laptop dihadapannya, sambil mengenakan kacamata yang jarang kali terlihat pria itu kenakan. Sambil sesekali memperhatikan kepada Lea yang sedang mengepel lantai.

Sekitar lima belas menit Lea mencoba untuk mengepel lantai, rasa lelah dan pegal-pegal mulai dia rasakan. Kendati karena bawaan hamil pula Lea turut merasa mudah kelelahan. Namun saat hendak berdiri Lea seketika merasakan jika kakinya terasa begitu berat dan kebas. Dimana hal tersebut membuatnya tidak kuat untuk bisa berdiri.




"Jimin . . ." panggil Lea meminta pertolongan.




Dengan cepat Jimin berdiri panik untuk menghampir Lea, "Ada apa?" tanya Jimin masih belum menyadari ada yang salah dari istrinya.



"Aku tidak bisa berdiri," adu Lea membuat Jimin dengan cepat langsung mengangkat Lea untuk di dudukan ke atas kursi.


"Ingin aku urut?" tawar Jimin dan langsung diangguki oleh Lea. Setelah itu Jimin langsung menaikan kedua kaki ke atas pahanya. Mengurut ke satu arah meskipun pria itu sendiri tidak ahli dalam mengurut.



"Apa dokter sudah menyarankan kau untuk mengepel seperti tadi?"



Lea menggelengkan kepala, "Belum tapi aku ingin mencobanya," jawab Lea, lagipula kandungannya baru hampir berusia delapan bulan. Terhitung masih lama untuk menunggu masa lahiran.


"Kalau begitu jangan lakukan itu dulu," sebetulnya Jimin tidak tau apakah ibu hamil seperti Lea boleh berlutut untuk mengepel lantai atau tidak. Karena setahu Jimin sendiri ibu hamil disarankan untuk mengepel lantai dengan posisi tersebut adalah ibu hamil yang sudah mendekati masa kelahiran, karena memang disarankan untuk mempercapat proses kelahiran.


Lea hanya bisa cemberut dimarah demikian oleh suaminya, kemudian menurunkan kakinya perlahan dari pangkuan Jimin, "Kalau begitu aku ingin menaruh ember tersebut kebelakang."


"Jangan sayang, kau tidak boleh mengangkat sesuatu yang berat. Biar ahjumma saja yang melakukannya," larang Jimin lagi membuat Lea hanya bisa menurut.



"Ahjumma!" panggil Jimin membuat seorang wanita payuh baya yang baru-baru ini dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga datang membuka ruangan kerja Jimin yang sebelumnya tertutup. "Tolong bawa ember itu ke belakang," suruh Jimin langsung membuat Sihyu Ahjumma langsung membawa ember tersebut kebelakang.


Kemudian Jimin menarik Lea untuk kembali duduk namun kali ini duduk ke atas pangkuannya, "Tidak mau," ucap Lea ingin berdiri karena tidak ingin dipangku oleh Jimin.


Pria Ryu itu menahan pinggang Lea untuk tetap duduk, "Tidak mau apa?"



"Tidak mau kau pangku."



"Kenapa begitu? aku sedang gemas terhadap ibu hamil ku ini." Kemudian Jimin menciumi leher bagian belakang Lea yang membuat wanita itu sendiri dibuat merasa melayang. Ciuman Jimin terlihat begitu lihai, mencari titik-titik sensitive yang membuat Lea merasa merinding setiap kali bibir tebal itu mengecap.


"Jimin sudah . . ." lirih Lea karena bisa bahaya jika diteruskan, namun bukan Jimin namanya jika berhenti. Pria itu entah kenapa malah semakin semangat untuk menyerang Lea dengan sentuhannya.


"Permisis tuan . . . nyonya?" ucap Sihyu ahjumma yang datang dari balik pintu sambil membawakan minuman. Membuat Lea buru-buru berdiri dari pangkuan Jimin, sambil merapikan dressnya yang sedikit kusut.


"Maaf mengganggu, bibi ingin mengantarkan minuman," setelah itu Sihyu ahjumma meletakan minuman tersebut ke atas meja, sebelum akhirnya menutup pintu namun tidak begitu diperhatikan oleh Jimin dan Lea.


Jimin memperhatikan gelas yang berisi teh tersebut, sebelum menghembuskan nafas, "Hanya ada satu, kau mau aku menyuruh Sihyu ahjumma untuk membuatkan teh lagi?"


Lea menggelengkan kepala, "tidak perlu, aku tidak ingin minum," mendengar itu Jimin segera meminum teh miliknya.


"Jimin, dokter bilang berat kandunganku masih kurang dan menyuruhku ku untuk banyak-banyak memakan ice cream."


"Baiklah setelah ini kita akan pergi untuk membelikan kau ice cream," setelah itu Jimin segera menghabiskan teh nya kemudian menutup laptopnya yang tadi masih menyala.


Hingga sesaat Jimin dibuat menggelengkan kepalanya, merasakan jika ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Kepalanya sedikit berat dan juga pusing, namun detik berikutnya Lea malah merasakan mata Jimin terlihat menggelap.


"Jimin kau baik-baik saja? apa kita sudah bisa bersiap-siap?" tanya Lea yang sebetulnya juga mulai merasakan ke anehan.




"Jimin . . .?"




Jimin terlihat tersenyum mengejek, kemudian menampilkan raut wajah yang begitu Lea benci. Raut amarah yang sama ketika pria itu marah dan menampar wajahnya.


Meskipun sempat dibuat kebingungan untuk melakukan sesuatu. Namun kali ini otak Lea dikontrol untuk segera kabur bagaimanapun caranya. Seolah-olah ada tanda bahaya yang hidup untuk memberitahu Lea jika saat ini dia sedang dalam bahaya.

Dengan cepat Lea berlari ke arah pintu, mencoba membuka-buka ganggang pintu sampai beberapa kali. Sampai Lea semakin dibuat panik karena pintu dalam keadaan terkunci dan entah sejak kapan beberapa genggam kunci yang tadinya ada di pintu tersebut menghilang.



Terlambat, Jimin sudah berada tempat dibelakangnya membuat Lea hanya bisa berpasrah pada apa yang selanjutnya akan terjadi.

***

masih belum kerja jadi jaga warung dulu karena masih agustusan (alasan utama sebetulnya karena demi dapat sinyal yg lancar) tapi ternyata emang ga boleh banget meremehkan pekerjaan orang, bahkan cuma jaga warung aja untungnya lumayan gede ternyata. meskipun uangnya tetap harus berputar terus au ah pusing.

tapi penghasilan terbesar aku masih dipegang karena jaga keponakan sih sama live di apk meskipun kadang ai setress.

kalau bisa sih aku pengen langsung nikah aja ga mau kerja huhu, tapi nikahnya harus sama jimin. sekian dulu maaf kalau aku curhat.

𝐏𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang