39

1.1K 135 11
                                    

Lima bulan kemudian . . .





Tidak terasa perutku semakin membesar, sekarang usia kandunganku sudah menginjak lima bulan. Namun di usia kandunganku yang sudah menginjak lima bulan ini justru aku malah sering merasa pusing dan mual. Membuat aku dan Jimin sedikit tidak yakin dengan rencana babymoon kami. Hal itu sedikit membuat aku merasa sedih, padahal aku sudah menantikan babymoon sejak awal kehamilanku. Meskipun sebetulnya kami memang masih bisa babymoon jika kandunganku sudah memasuki enam sampai tujuh bulan ke atas, namun tetap saja aku merasa sedih. Besok kami berencana untuk melihat jenis kelamin bayi kami, sekaligus dengan perayaan gender reveal party yang sudah Jimin siapkan untukku. Aku jadi benar-benar tidak sabar menunggu hari besok, bahkan dari tadi malam jantungnya selalu berdegub kencan saking tidak sabarnya mengetahui jenis kelamin anak kami.


Siang ini Jimin pulang sambil membawa Jiya, membuat aku sedikit heran karena tidak biasanya Jihan membolehkan Jiya main ke sini bahkan sampai menginap. Meskipun begitu aku sangat merasa senang, karena akhirnya Jiya bisa tinggal bersama kami meskipun hanya dua hari.



"Mama!" teriak Jiya heboh saat memasuki rumah, dia langsung memelukku.


"Dedek bayi sudah semakin besar," ucapnya kagum sambil mengelus-elus pelan perutku dengan penuh kasih sayang.

"Jiya sebentar lagi akan punya adik, apa Jiya senang jika punya adik nanti?" tanya Jimin turut berlutut disebelah Jiya sambil ikut-ikutan mengusap-usap perutku pelan, dia bahkan sesekali mencium perutku.


"Jiya senang, itu artinya Jiya akan punya teman bermain," Meskipun umur Jiya terhitung masih kecil, namun pola pikirnya sudah sangat dewasa. Dia bahkan sudah terlihat sangat dewasa dan sudah siap menjadi seorang kakak. Jiya bahkan sudah seperti malaikat kecil yang bersinar dengan begitu terang.


"Jiya pasti belum makan, ayo makan tadi Mama memasak makanan enak," ajakku, Jimin juga pasti belum makan setelah pulang dari kantor tadi.

"Kau memasak banyak sekali," kebiasaan Jimin tetap tidak berubah, dia tetap selalu khawatir jika aku bekerja hingga kecapean. Mudahan-mudahan Jimin tidak sadar jika tadi pagi aku membersihkan taman belakang, jujur aku lelah mendengarkan omelannya.

"Aku memasak makanan kesukaan kalian, lagi pula aku sama sekali tidak merasa kelelahan."


"Jiya mau makan disuapi?" tawar Jimin membuat Jiya menggelengkan kepalanya kuat.


"Jiya sudah bisa makan sendiri!" protesnya membuat aku dan Jimin tertawa.


"Benarkah? wah anak Papa pintar sekali," puji Jimin pada putrinya, dia juga mengambilkan Jiya nasi berserta lauk pauk lalu memberikannya kepada Jiya.

Jiya menerima piringnya dan memakan makanannya dengan lahap, aku bahkan sekian kali di buat kagum oleh Jiya karena kepintarannya. Meskipun aku sedikit khawatir karena Jiya terlalu cepat dewasa dari anak seumurnya dan aku tidak mau hal itu terjadi. Memang tidak ada salahnya jika Jiya bersikap dewasa, tapi aku khawatir dia akan melewatkan masa anak-anaknya dengan begitu cepat.

"Mama, Papa bilang besok Mama akan mengecek jenis kelamin dedek bayi. Apa boleh Jiya ikut?" pinta Jiya padaku.

"Tentu saja boleh, Mama akan senang sekali jika Jiya ikut," ucapku jelas tidak keberatan. Akhir-akhir ini Jiya antusias sekali dengan kehamilanku jadi mana mungkin aku melarangnya ikut.

"Perut Mama tidak akan dibelah 'kan?" tanya Jiya polos raut wajahnya bahkan berubah jadi cemberut.


"Tidak Jiya, dokter akan menggunakan alat khusus untuk melihat kelamin dedek bayi," jelasku berharap Jiya bisa mengerti karena aku juga tidak pintar dengan istilah-istilah kedokteran.

"Syurkulah kalau begitu, dari tadi pagi waktu di sekolah Jiya terus kepikiran."

"Sore ini aku berencana mengajak kalian jalan-jalan," tiba-tiba Jimin membuka suara, membuat aku dan Jiya yang mendengarnya langsung tersenyum bahagia. Jimin itu terlalu sibuk, dia bahkan jarang sekali mengajakku jalan-jalan. Karena itu aku merasa senang sekali.


"Jadi kau mau mengajak kami jalan kemana?"


"Rencananya aku ingin mengajak kalian jalan-jalan ke sungai Han dan pulangnya kita akan makan malam bersama, apa kau suka? jika tidak mungkin aku akan mengajak mu ke tempat lagi," ucapnya takut aku tidak suka dengan tempat pilihannya.


"Tidak kok aku suka, lagipula sudah lama sekali aku tidak pergi ke sungai Han dan melihat pemandangan disana. Selain itu ini juga pasti pertama kali bagi Jiya pergi ke sungai Han," kataku tidak keberatan.

"Apa di sungai Han ada buaya?" celetuk Jiya tiba-tiba membuat kami tertawa.


"Tidak ada Jiya, di sungai Han tidak ada buaya," jelas Jimin gemas sekali pada Jiya.

"Apa Jiya boleh berenang?"


"Memangnya Jiya bisa berenang?"


Jiya menggelengkan kepalanya, "Kalau begitu nanti Papa akan mengajari Jiya berenang," kemudian Jimin mengusap-usap kepala Jiya pelan. Saat sudah selesai makan Jimin juga membantuku mencuci piring, padahal aku sudah melarangnya dan menyuruhnya untuk tidur siang saja. Karena selesai pulang bekerja Jimin juga pasti akan lelahan.

"Nanti sore Taehyung akan kesini mengantarkan kamera ku yang dipinjamnya minggu lalu," gumam Jimin.


"Lalu bagaimana jika kita pergi?" jika nanti sore kami kesini tidak mungkin 'kan Taehyung kesini tanpa ada satu orang pun yang menyambutnya.


"Aku akan menyuruh dia datang ke sungai Han, lagipula hanya sebentar," jelas Jimin padaku.


"Apa Taehyung tidak sedang sibuk?"


"Akan aku tanyakan lagi padanya," pikir Jimin lagi, "Bagaimana dengan dirimu, apa kau masih sering merasa mual?"


"Sudah tidak, tapi tadi pagi aku sempat merasa mual," aku berharap rasa mualku bisa segera hilang, apalagi rasa mual ku akan semakin kuat jika aku tidur-tiduran. Namun malah berkurang saat aku melakukan banyak aktivitas seperti memasak dan berkemas-kemas rumah.


"Karena kandungan mu sudah berusia lima bulan, apa malam ini kita boleh melakukannya?" ucap Jimin membuat pipiku seketika memerah, aku tau apa yang sedang dimaksudnya.


"Tapi ada Jiya," ingati ku padanya.



"Kau lupa jika Jiya punya kamar sendiri? dia juga pasti akan menolak tidur bersama kita," mendengar itu sepertinya aku tidak punya lagi alasan untuk menolaknya, Jimin juga pasti sudah sangat menginginkan itu. Dia bahkan sudah lama menahan diri untuk tidak menyentuhku selama lima bulan ini. Kalau boleh jujur juga merindukannya.

𝐏𝐫𝐨𝐦𝐢𝐬𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang