Mark mematung melihat kedua sepupunya terbaring kaku di ranjang ICU dengan selimut putih menutupi dari kepala hingga kakinya.
Untuk meyakinkan diri, Mark memperhatikan gerak perut dan dada sepupunya. Dan dia tidak mendeteksi adanya pergerakan naik-turun.
Di sebelah ranjang, Wendy menangis tidak karuan, didampingi Johnny yang tak kalah sedih karena kehilangan anaknya.
"Kalau kalian pergi, bagaimana hidup Mama nantinya?" tanya Wendy dengan suara parau.
Wendy memegangi tangan salah satu anaknya, Mark tidak tahu apakah tangan Haechan atau Renjun karena tubuh mereka tertutup kain putih. Wendy menangis di pinggir ranjang anaknya.
"Setelah ini Mama nggak bisa lihat kalian lagi, kalian tega sekali ninggalin Mama."
Johnny dengan sigap memeluk istrinya. "Sayang jangan seperti ini, aku tahu tidak ada orang tua yang mampu merelakan anaknya pergi, anak-anak juga tidak mau mereka pergi meninggalkan kita. Tapi ini yang terbaik bagi mereka daripada mereka tersiksa di sini."
Wendy menggeleng. Dan tahu-tahu tubuh Wendy terjatuh dan dia pingsan. Johnny panik setengah mati, dia segera mengendong istrinya dan membawanya ke ruangan sebelah.
Mark mendekati Renjun dan Haechan, di belakangnya, Jeno, Chenle dan Jisung ikut membuntut.
Jisung yang berdiri di sisi kanan Mark sudah terisak. Mark masih diam mematung, sedangkan Jeno dan Chenle merasa tidak percaya.
"Hyung katakan padaku ini cuma mimpi." Jeno menggeleng. "Mereka pasti bukan teman-temanku, mereka pasti orang lain."
Mark mengulurkan tangannya pada kepala salah satu jenazah, sejenak ia ragu untuk membuka kain putih itu. Dia takut hatinya akan hancur jika melihat siapa di balik kain ini.
Tangan Mark memegang kain putih itu, ia membuka pelan kain itu hingga wajah jenazah itu terlihat.
Mark melototkan mata dan refleks melepas kain yang dia pegang. Ia mundur beberapa langkah karena syok berat.
Tangan pemuda itu bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan dan dadanya terasa sesak.
"Renjun," panggilnya.
Di sana, wajah Renjun terlihat pucat dan bibirnya membiru seperti orang kedinginan. Wajahnya tidak berbentuk karena saking banyaknya luka yang Renjun dapat. Bahkan beberapa luka masih belum kering dan darah masih sesekali mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya.
Mark hampir saja terjatuh kalau tidak Jisung yang menahan tubuh Mark.
Lantas Chenle membuka kain di sebelahnya. Menampakkan wajah Haechan yang tak kalah pucat seperti tak memiliki darah.
"Haechan Hyung, Renjun Hyung," gumam Chenle. "Kenapa kalian pergi dengan cara seperti ini?"
Jeno meraih tangan Haechan yang tersembunyi di balik kain, ia menggenggam tangan yang mulai dingin itu.
"Haechan, maafin aku karena tidak bisa menjadi teman yang baik, maafin aku karena tidak ada di sisimu di saat terakhir hidupmu. Maaf." Jeno menitihkan air mata.
Mark memandang kedua sepupunya, ia benar-benar tidak menyangka akan dipertemukan dengan Haechan dan Renjun dalam keadaan seperti ini. Bahkan dalam khayalannya pun, Mark tidak pernah berpikir seperti ini.
Jikalau ia bermimpi, Mark ingin cepat-cepat bangun dan mengakhiri mimpi buruk ini.
Jisung memeluk Mark yang sedari tadi menahan tangis. Ia menepuk pelan punggung Mark dan berbisik. "Hyung boleh menangis, jadi yang tertua bukan berarti dilarang menangis dan harus berpura-pura kuat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Stepbrother [END]
FanfictionMempunyai saudara tiri, laki-laki, seumuran, emosian dan menyebalkan adalah salah satu dari banyaknya hal yang Haechan benci. "Aku tidak suka saudara tiri sepertimu, Huang Renjun!" "Menurutmu aku juga suka saudara tiri sepertimu?" |Bagian dari DREAM...