Renjun tersenyum lebar saat dia tiba di bandara Incheon, matanya menelusuri bandara yang sudah sering menjadi tempat pendaratannya itu.
"Renjun beneran ingin menemui anak itu?" tanya Papa yang berdiri di sampingnya.
Renjun mengangguk. "Iya, Pa."
"Kalau dia punya niat jahat bagaimana?" tanya Papa, tidak yakin dengan keputusan Renjun.
"Aku percaya padanya, Pa, dia tidak akan menyakiti adiknya sendiri," jawab Renjun. "Papa bisa pulang dulu, nanti aku menyusul."
"Dan meninggalkan Renjun sendirian di Incheon? No, Papa nggak mau kehilangan Renjun lagi. Papa harus ikut Renjun bertemu anak itu." Papa menolak keras usulan Renjun.
"Tapi kan Pa, aku ingin bicara empat mata." Renjun merengek.
Papa merangkul Renjun dan menunjukkan dua restoran yang berdempetan. "Renjun bisa bicara di sana, dan Papa akan makan di restoran sebelah. Masalah selesai."
Renjun tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu Papa pergi dulu, lapar," ujar Papa disertai senyuman.
Setelah melihat Papa masuk ke restoran, Renjun melangkahkan kaki ke restoran sebelah. Sesaat tiba di dalam, ia celingukan mencari seseorang.
"Renjun!" Seseorang memanggilnya dan juga melambaikan tangan agar Renjun melihatnya.
"Winwin Hyung!" seru Renjun, ia berlari kecil menghampiri Winwin yang duduk di pojokan restoran.
Pemuda itu lantas memeluk Winwin.
"Maaf aku tidak bisa menjengukmu, Renjun, Papamu melarangku," ujar Winwin.
"Aku tahu, Hyung."
Setelah melepas pelukan mereka, Winwin memesan makanan dan minuman.
Winwin memandang wajah Renjun yang tersenyum. Pipi Renjun kini lebih berisi daripada terakhir kali Winwin melihatnya di rumah sakit Cina waktu itu.
"Kau sudah sehat, Renjun?" tanya Winwin pelan.
Renjun menoleh. "Aku tidak bisa sesehat dulu, Hyung. Tubuhku jadi gampang sakit."
Winwin meraih tangan Renjun dan menggenggamnya. "Maafkan aku, Renjun. Maaf karena menyakitimu, kalau aku bisa menukarnya dengan hidupku, akan aku berikan."
Renjun menggeleng, ia balas menggenggam tangan Winwin. "Bukan salahmu, Hyung. Kau melakukan hal ini karena terpaksa."
Winwin menggeleng, matanya mulai memerah. "Kau jangan terlalu baik, Renjun. Seharusnya kau marah dan benci padaku."
"Aku juga tidak sebaik yang kau bilang, Hyung."
"Tetap saja. Kenapa kau bahkan tidak marah padaku? Papaku yang merencanakan semua ini, dia juga yang telah membunuh papa kandungmu dan mama kandung Haechan."
Renjun refleks menarik tangannya, walau dia sudah tahu fakta itu, tetap saja hatinya masih terasa sakit.
"Katakan lagi apa hal yang tidak aku ketahui, Hyung. Bukankah selama ini orang yang berusaha membunuhku itu Wang Yi Fan, lalu apa ada hubungannya orang itu dengan papamu?" tanya Renjun serius.
"Jadi ... orang tuamu belum memberi tahu yang sebenarnya?" Winwin terkejut.
Renjun menggeleng. "Mereka tidak mau membahas tentang ini kepadaku."
"Yi Fan itu tangan kanan papaku. Walau aku anaknya, kuakui kalau papaku memang brengsek, dia tidak mau tangannya kotor, jadi segala yang dia inginkan, semua dilakukan Yi Fan, kecuali membunuh musuh bebuyutannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Stepbrother [END]
FanfictionMempunyai saudara tiri, laki-laki, seumuran, emosian dan menyebalkan adalah salah satu dari banyaknya hal yang Haechan benci. "Aku tidak suka saudara tiri sepertimu, Huang Renjun!" "Menurutmu aku juga suka saudara tiri sepertimu?" |Bagian dari DREAM...