43. Titik Terang

1.9K 314 101
                                    

Sejak penjelasan orang tuanya tentang musuh yang mengincarnya, Haechan hanya diam, pandangannya tampak kosong.

"Ada apa, Haechan?" tanya Papa pelan.

Mama merapikan rambut Haechan yang mulai memanjang. "Jangan terlalu dipikiran, ya? Haechan sudah aman di sini."

"Apa teman-teman juga tidak tahu kalau aku hidup?" tanya Haechan.

Orang tuanya mengangguk.

"Apa aku tidak boleh menghubungi mereka?" tanya Haechan lagi.

"Untuk saat ini tidak dulu, Sayang," jawab Papa.

Haechan menundukkan kepala, ia lantas mencari posisi nyaman untuk bersandar. "Tapi ... aku boleh kan, Ma main sosial media? Bosen di sini terus, mau pulang."

Mama tersenyum dan mengusap tangan Haechan. "Iya, boleh kok. Tapi Haechan hati-hati ya, jangan sampai identitasmu terbongkar, Mama tidak ingin ada lagi yang dikorbankan."

Haechan terdiam. Apa maksud mamanya dengan kata dikorbankan? Apakah untuk menyelamatkannya dari musuh Mama harus mengorbankan sesuatu ... atau seseorang?

Memikirkan hal itu membuat kepala Haechan pening. Ucapan Mama mengandung teka-teki yang Haechan sendiri tidak tahu jawabannya, semuanya masih abu-abu, tidak jelas.

Haechan melamun lagi, dia memikirkan kabar Renjun. Sedang di mana saudaranya itu sekarang? Ia sedari tadi hanya diam karena mengira orang tuanya akan memberi tahunya kabar tentang Renjun, tetapi mereka sepertinya enggan membahas tentang Renjun.

Haechan hendak bertanya, tetapi ia takut akan membuat suasana tenang ini menjadi tegang dan sedih.

"Kapan aku boleh pulang, Pa?" Malah pertanyaan itu yang keluar dari bibir Haechan.

"Kalau keadaan Haechan sudah membaik, Haechan boleh pulang. Sekarang Haechan harus banyak istirahat agar cepat sehat ya?"

Haechan hanya mengangguk, lantas dia melamun lagi. Haechan mencoba mengingat-ingat apa yang dia alami selama koma, tetapi dia tidak bisa ingat apapun selain mimpinya bertemu dengan Renjun.

Lalu dia melototkan matanya kala teringat sesuatu. Sesaat setelah kecelakaan, Haechan sempat terbangun, dia sempat bertemu dengan teman-temannya dan ... bertemu saudaranya. Haechan ingat betul saat itu Renjun memeluknya dan menangis.

Tanpa sadar air mata Haechan menetes.

"Haechan, kenapa, Nak?" tanya Wendy lembut.

Namun seakan-akan tak mendengar apapun, Haechan masih fokus menyelami memorinya bersama Renjun kala itu. Pelukan hangat dari kakaknya masih bisa ia rasakan walau saat itu tubuhnya benar-benar terasa remuk.

Elusan di wajah dan tangannya masih bisa Haechan rasakan, juga kata-kata maaf yang Renjun lontarkan saat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Tanpa sadar Haechan menangis sesenggukan.

"Haechan, kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Papa khawatir.

"Hatiku, Pa ... sakit. Aku mau bertemu Renjun, Pa," ujar Haechan dengan suara parau.

"Renjun tidak ada di sini, Nak. Kau tidak bisa menemuinya."

Haechan tidak suka dengan jawaban bertele-tele itu.

"Lalu ... Renjun di mana? Kenapa dia tidak ikut pindah ke Canada juga?"

Wajah Mama dan Papa berubah menjadi sedih. Papa lantas merangkul Haechan sedangkan Mama menggenggam erat tangannya.

"Kalau Renjun tidak ada di sini, aku bisa menemuinya." Haechan menatap Mama. "Apa dugaanku benar, Ma, kalau Renjun ... sudah tiada."

Tangis Mama pecah karena mendengar suara putus asa dari Haechan. Mama menggeleng keras.

Dear My Stepbrother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang