Mata Haechan terbuka, ia terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Tangannya mengelap keringat yang membasahi dahi.
"Untung cuma mimpi," gumam Haechan.
Haechan tadi bermimpi melihat Renjun menjadi zombie. Wajahnya benar-benar mengerikan, muka terkoyak, tubuh yang bentuknya tidak jelas apalagi dengan langkah cepat yang terseok-seok. Renjun yang menjadi zombie itu mengejarnya seakan-akan ingin menerkan Haechan hidup-hidup.
Haechan masih gemetar ketakutan saat mengingatnya. Padahal dia hanya bermimpi, tetapi entah kenapa rasanya begitu nyata.
"Gara-gara Renjun, tadi malam dia ngajak nonton film zombie," kata Haechan sembari melirik Renjun yang tidur di sebelahnya.
Karena semalam menonton film zombie, Haechan sampai-sampai bermimpi buruk, sedangkan Renjun memintanya untuk tidur bersama karena Renjun takut.
"Tidur sendirian aja takut, katanya sudah besar," ejek Haechan malam itu.
"Aku takut, bodoh. Nanti kalau ada zombie gimana? Terus tiba-tiba zombie masuk kamarku dan mengigitku," balas Renjun.
"Baguslah," celetuk Haechan membuatnya terkena jitakan di kepala.
Pletak!
"Aduh!" Haechan menggosok dahinya. "Sakit, bego!"
"Iya iya, Renjun, kita tidur bareng," ujar Haechan tidak ikhlas. "Tapi, gimana jika aku tiba-tiba menjadi zombie dan memakanmu?"
"Aku lari ke dapur, mengambil pisau dan membunuhmu," jawab Renjun cepat.
Haechan bergidik. "Tega sekali sama saudara sendiri. Lagi pula, zombie nggak akan mati kalau hanya digorok, dia mati kalau dibakar."
"Bagaimana kau tahu sebanyak itu? Jangan-jangan kau benar-benar zombie, Haechan?"
Haechan tertawa. "Nggak ada zombie setampan aku."
Melupakan percakapan tadi malam, kini Haechan melirik Renjun yang tidur di sebelahnya, matanya lantas melotot. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Renjun dengan kuat hingga membuat pemuda itu terkejut.
"Bangun, bego. Kita terlambat ke sekolah, belum lagi nanti cari bus," ujar Haechan membuat Renjun langsung duduk.
"Kenapa Papa nggak nganterin kita?" tanya Renjun dengan tangan yang mengucek-ngucek matanya.
"Rumah Papa kan jauh dari sini, aku nggak enak kalau merepotkan Papa terus, nanti dia terlambat ke kantor," ujar Haechan lantas dia berlari menuju kamar mandi.
***
Haechan berdecak kesal kala melihat lapangan belakang sekolah yang begitu kotor. Pasalnya, lapangan itu jarang dipakai dan sesekali hanya dibersihkan oleh anak-anak yang terkena hukuman sepertinya saat ini.
Bukan hanya Haechan dan Renjun yang dihukum karena terlambat, masih ada beberapa murid-murid lain yang dihukum.
Haechan tidak memperhatikan satu-satu siapa saja yang dihukum karena dari awal dia sudah merasa kesal.
"Gara-gara kau, kita jadi terlambat," ujar Haechan, dia menatap tajam Renjun yang baru datang karena mengambil sapu. "Capek tahu ngebersihin lapangan."
Renjun mendengus. "Kau itu yang jalannya lelet, pakai acara kaos kaki hilang segala."
"Enak saja, kau itu yang kelamaan mandinya, bukannya jadi ganteng, kau malah jadi udon," balas Haechan dengan nada menyebalkan.
"Kau saja yang bangunnya kesiangan," ujar Renjun dengan nada yang naik satu oktaf.
"Kau juga bangunnya kesiangan, babo-ya," balas Haechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Stepbrother [END]
FanfictionMempunyai saudara tiri, laki-laki, seumuran, emosian dan menyebalkan adalah salah satu dari banyaknya hal yang Haechan benci. "Aku tidak suka saudara tiri sepertimu, Huang Renjun!" "Menurutmu aku juga suka saudara tiri sepertimu?" |Bagian dari DREAM...