47. Kenangan Indah

2K 294 47
                                    

"Hari ini aku kembali ke Korea," ujar Haechan bersemangat.

Tangan kirinya memegang ponsel dekat telinga dengan senyum lebar. Haechan menatap kakinya yang sudah bisa berjalan selama terapi kurang-lebih empat bulan lamanya, tangannya juga sudah terbebas dari infus yang menusuknya.

Dan beberapa hari terakhir ini Haechan sudah boleh pulang dari rumah sakit, dia sekarang ada di apartemen milik Mama.

"Wah, benarkah? Aku mungkin pulang seminggu lagi, dokter belum mengizinkanku pulang," balas Renjun di seberang sana.

"Tidak apa-apa, lagian masih ada waktu sebelum salju pertama turun."

"Tapi ingat, Haechan. Sebelum salju pertama turun, kita tidak boleh bertemu dulu," kata Renjun dengan serius.

Haechan terdiam sebentar sebelum kembali menyahut. "Kenapa kau memilih saat salju pertama turun? Apa karena indah?"

Di seberang sana Renjun menggeleng. "Katanya, kalau kita bertemu saat salju pertama turun, maka kita akan bahagia dan cinta kita akan abadi."

Haechan tertegun. Bagaimana bisa Renjun yang bukan orang Korea tahu mitos itu?

"Dan kau percaya, Renjun?"

"Aku percaya," jawab Renjun dengan yakin.

Tok tok!

Haechan menoleh saat Mama mengetuk pintu kamarnya yang memang sengaja ia buka.

"Haechan sudah selesai? Ayo berangkat sekarang sebelum ketinggalan pesawat, takut nanti di jalan macet," ujar Mama.

"Iya, Ma."

"Renjun udah dulu ya? Aku mau ke bandara dulu. Doakan aku sampai ke Korea dengan selamat," kata Haechan disertai kekehan ringan.

"Iya, iya, hati-hati, Haechan."

"Baiklah, aku tutup dulu ya? Selamat tinggal, Renjun." Haechan berdiri, memegang gagang kopernya.

"Bukan selamat tinggal, Haechan, tapi sampai jumpa, oke? Kata selamat tinggal mengartikan kau pergi selamanya dan kata sampai jumpa memperbesar kemungkinan kita bertemu lagi."

"Iya, dasar cerewet."

Haechan mematikan sambungan teleponnya. Ia lantas menyerat kopernya keluar dan menaruhnya di bagasi mobil, juga membantu menaruh koper mamanya.

"Haechan, jangan angkat barang-barang berat dulu, nanti kakinya sakit lagi." Mama menasehatinya, seperti biasa, padahal menurut Haechan sama seperti omelan.

"Kakiku sudah baik, Ma. Aku bahkan sudah bisa berlari dan bermain bola," kata Haechan.

"Baiklah, tapi jangan banyak tingkah dulu, Haechan. Kalau begitu ayo berangkat ke bandara. Tidak ada yang tertinggal, 'kan?" Mama memastikan sekali lagi.

"Ada yang tertinggal, Ma," kata Haechan dengan nada yang dibuat-buat sangat terkejut. "Tinggal kenangan."

Haechan lantas tertawa keras, membuat Mama memukul bahunya pelan.

***

Setelah berjam-jam perjalanan ke Korea, kini Haechan menatap ruang tamu rumah Mama. Ia menghela napas berat, sudah lama Haechan tidak mengunjungi rumah ini, sudah lama juga Haechan tidak menghirup udara di tanah kelahirannya.

Haechan menyeret kopernya menuju kamar Renjun. Ia akan memakai kamar Renjun untuk sementara, toh dia tidak akan lama tinggal di rumah itu. Setelah salju pertama turun, ia dan Mama akan kembali ke rumah Papa.

Haechan lantas keluar kamar, ia merapatkan jaket tebalnya, udara di luar dingin.

"Ma! Aku keluar dulu, mau jalan-jalan!" seru Haechan dari ambang pintu.

Dear My Stepbrother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang