Beberapa hari setelah kejadian di mana Winwin menemui Renjun hingga menyebabkan anak itu kolaps, Johnny melarang Winwin untuk datang lagi---setelah membuatnya babak belur.
Johnny tidak tahu apa yang dibicarakan Winwin dengan Renjun hingga membuat anak itu keadaannya memburuk. Bahkan setelah Renjun sadar, ia enggan menceritakan tentang Winwin. Dia hanya bilang kalau Winwin kakaknya yang baik.
Renjun kini duduk di kursi roda dan memandang pemandangan luar lewat jendela. Dia tadi habis jalan-jalan di taman bersama Papa, sebenarnya bukan karena bosan, hanya Papa saja yang ingin mengajaknya agar Renjun tidak terlalu banyak pikiran. Sekarang Papa keluar sebentar, Renjun memakluminya, Papa orang yang sibuk.
Kaki Renjun masih belum bisa berjalan, dia harus lebih sering berlatih lagi. Renjun menghela napas, ia tidak bisa bertemu orang lain selain Papa dan dokter yang merawatnya. Karena sejak kejadian datangnya Winwin, Papa semakin memperketat pengamanan di luar kamar inap dengan menyewa seseorang untuk berjaga di luar.
Bukannya Renjun bosan, dia malah lebih suka sendirian tanpa gangguan orang lain. Hanya saja, dia merindukan suasana seperti dulu, suasana saat dia berada di rumah bersama Haechan dan bebas pergi ke mana pun yang dia mau tanpa harus diikuti bodyguard.
Renjun memandang langit sore yang tampak cantik walau sedang mendung. Ia tiba-tiba ingin melukis dan meluapkan semua emosinya yang selama ini terpendam.
"Renjun?"
Suara Papa mengangetkan Renjun yang sedang melamun. Ia menoleh dan mendapati Papa membawa sesuatu di tangannya.
Papa mendekat dan mengelus pelan belakang kepala Renjun.
"Lagi mikirin apa sampai-sampai nggak sadar kalau dari tadi Papa panggil, hm?" tanya Papa dengan suara lembut.
Renjun tersenyum tipis, ia lantas menunjuk langit. "Langitnya cantik, Pa."
"Loh? Kan langitnya mendung."
Renjun mengangguk dengan semangat. "Iya cantik, Pa. Langitnya semakin gelap, aku tiba-tiba ingin melukis."
"Nanti ya setelah Renjun sembuh? Papa nggak mau Renjun kelelahan terus drop lagi," ujar Papa.
Renjun hanya mengangguk, dia tahu keadaan tubuhnya dan dia tidak akan memaksakan diri atau nantinya ia akan kembali drop.
"Nih, surat dari Haechan sudah sampai." Papa menyerahkan sebuah amplop.
Renjun tersenyum lebar, wajahnya yang tadi tampak murung kini berseri-seri.
"Bacanya di kasur saja ya? Setelah ini Renjun harus terapi jalan."
Renjun mengangguk, Papa lantas mendorong kursi roda Renjun ke dekat ranjang dan ia menggendong Renjun, meletakkannya di atas ranjang dengan hati-hati.
"Terima kasih, Pa."
Papa yang sedang membenarkan letak infus Renjun menoleh. "Eh, kenapa tiba-tiba berterima kasih?"
Renjun menggeleng. "Karena hari ini aku senang."
"Papa keluar dulu ya? Mau ke ruangan dokter. Renjun di sini saja sambil baca suratnya Haechan."
Renjun mengangguk.
Papa keluar ruangan setelah itu.
Renjun memandang amplop yang ada di depannya dengan senyum yang tak luntur-luntur. Ia sangat merindukan Haechan dan dengan melihat kedatangan suratnya saja Renjun sangat senang.
Dengan hati-hati, Renjun membuka amplop itu, takut merusak surat yang ada di dalamnya. Ia mengeluarkan kertas putih yang ada di sana dan mulai membaca surat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Stepbrother [END]
FanfictionMempunyai saudara tiri, laki-laki, seumuran, emosian dan menyebalkan adalah salah satu dari banyaknya hal yang Haechan benci. "Aku tidak suka saudara tiri sepertimu, Huang Renjun!" "Menurutmu aku juga suka saudara tiri sepertimu?" |Bagian dari DREAM...