17. Rahasia yang Terungkap

2.8K 395 24
                                    

Haechan harus mulai membiasakan diri bangun pagi setiap hari. Untung saja berkat alarm di ponsel barunya ia bisa bangun lebih pagi---setidaknya lebih dulu daripada Renjun yang masih molor di sebelahnya.

Tadi malam, Renjun dan Haechan membuat kesepakatan, mereka akan tidur di satu kamar, secara bergantian di kamar Renjun atau Haechan, tujuannya agar mereka lebih dekat lagi.

Dan jaga-jaga jika Haechan takut nonton film horor atau kalau Renjun takut nonton film zombie, mereka pasti takut untuk tidur sendirian.

Haechan mengucek mata, lantas dia memandang pintu dengan tatapan kosong. Biasanya pagi-pagi begini Mama sudah sibuk meneriakinya, menyuruhnya mandi lalu sarapan, atau Papa yang sibuk memanasi mobil, kini Haechan harus melakukan semuanya sendiri.

Haechan menendang kaki Renjun. "Bangun! Renjun, bangun!"

Renjun menggerang, ia balas menendang kaki Haechan. "Berisik!"

"Bangun, Renjun! Ingat kita cuma berdua di rumah, nggak ada Mama ataupun Papa, kita harus berangkat pagi-pagi." Haechan menggoyang-goyangkan bahu Renjun. "Kita belum buat sarapan, belum lagi nunggu bus."

Renjun berdecak kesal lantas menarik selimut dan menutupi kepalanya sampai pucuk rambutnya tak terlihat.

"Ayo main gunting, batu, kertas, yang kalah gunain kamar mandi lantai satu dan dia yang membuat sarapan," usul Haechan yang dibalas gumaman oleh Renjun di balik selimutnya.

"Gunting, batu, kertas!" seru Haechan, ia mengeluarkan kepalan tangan sedangkan tangan Renjun terulur di balik selimut, telapak tangannya terbuka lebar.

Haechan terdiam, itu artinya dia kalah. Ia melirik wajah Renjun yang masih tertutupi selimut, kalau Haechan curang, Renjun tidak akan tahu kan?

Haechan menyunggingkan senyum, ia hendak mengganti tangannya yang terkepal menjadi gunting, tetapi Renjun buru-buru membuka selimutnya.

Dengan muka bantal, Renjun berucap datar, "Kau kalah, Haechan, jangan coba-coba curang."

Haechan menggaruk tengkuknya, lantas cengengesan. "Iya iya, aku kalah."

"Kalau begitu, kau yang memasak hari ini," kata Renjun.

Haechan tidak menjawab, ia memilih beranjak dari ranjang.

"Satu lagi, Haechan, jangan lupa buatkan aku air lemon hangat. Ingat, hangat bukan dingin."

Haechan memutar bola mata. "Enak sekali ya jadi kakak, bisa nyuruh-nyuruh adiknya."

Renjun tertawa. "Itulah gunanya adik, untuk disuruh-suruh."

***

Haechan bersorak gembira saat bel istirahat berbunyi. "Akhirnya, aku terbebas dari neraka bernama kebosanan."

Haechan mengeluarkan ponselnya, bertepatan dengan Jeno yang  menoleh ke arahnya. Temannya itu buru-buru merebut ponsel Haechan, yang mana membuat empunya ponsel memutar bola mata kesal.

"Jaemin, lihat ini, Haechan punya ponsel baru,c kata Jeno, lantas kedua orang itu saling tatap dan cekikikan.

"Pulang sekolah, jangan lupa traktir kita-kita ya," ujar Jaemin.

Jeno mengangguk semangat, ia lantas mengembalikan ponsel Haechan dan dengan paksa menarik tangan Haechan agar pemuda itu berdiri. "Ayo ke kantin."

Jeno merangkul Haechan dan mereka beranjak keluar kelas.

"Renjun, ayo nyusul mereka," ajak Jaemin.

Renjun mengangguk, tetapi tangannya sibuk mengacak-acak isi tasnya. "Tunggu sebentar."

Dear My Stepbrother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang