Dalam mimpi di tidur panjangnya, Renjun berada di padang salju, sepanjang mata memandang hanya ada warna putih, lalu pohon-pohon yang juga diselimuti salju.
Renjun bersandar di salah satu pohon, pandangannya menerawang ke depan, walau begitu pikirannya pergi entah ke mana, dari tadi dia hanya melamun, tidak melakukan apapun.
Suara langkah kaki terdengar membuat atensinya mengarah ke sumber suara.
"Renjun-ah!" seru Jaemin.
"Apa?" tanya Renjun tanpa mengubah posisinya.
Jaemin mendekati Renjun dan duduk di sebelahnya, ia ikut memandang matahari yang hampir terbenam.
"Kau tidak bosan di sini?" tanya Jaemin setelah beberapa saat terdiam.
Tanpa menoleh ke arah Jaemin, Renjun tersenyum tipis dan menggeleng. "Aku senang berada di sini, sama sekali tidak membosankan. Di sini aku bisa merasakan ketenangan."
Jaemin mengangguk, ia juga setuju kalau tempat ini sangat menenangkan. "Kau ... tidak ingin menyusul Haechan?"
Mendengar tentang Haechan, pemuda itu refleks menoleh ke sebelah, memperhatikan wajah Jaemin. "Maksudmu, kau ingin aku pergi dari sini? Kau mengusirku?"
Jaemin lantas terkekeh. "Jangan bicara seperti itu, aku kesannya jadi orang jahat. Aku bukannya mengusirmu, Renjun. Hanya saja, kau harus pergi dari sini."
"Kenapa?" Wajah Renjun terlihat sedih.
Jaemin tersenyum, ia mengelus pelan rambut Renjun. "Kau belum waktunya di sini, kau harus kembali."
"Kalau aku kembali, apa yang terjadi?" tanya Renjun dengan polos.
"Artinya kau bisa bertemu Haechan lagi, dan kau ... masih hidup."
Renjun terdiam, ia lantas menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau hidup lagi."
Jaemin menatap wajah Renjun yang kebetulan menatapnya juga.
Dengan suara rendah, Jaemin bertanya. "Kenapa?"
"Hidup terlalu berat, Jaemin-ah. Kalau aku diberi pilihan, aku lebih memilih tidak pernah dilahirkan," jawab Renjun, sorot matanya menunjukkan penyesalan.
"Tapi kau dan aku tidak berhak melawan takdir, kau harus segera pergi dari sini, Renjun, tugasku adalah mengantarkanmu kembali." Jaemin berdiri, ia mengulurkan tangannya.
Renjun menerima uluran tangan itu hingga membuatnya berdiri. "Kalau aku pergi, kau ... akan sendirian di sini? Kalau begitu ayo pergi sama-sama."
Jaemin menggeleng. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, tempatku memang ada di sini, aku tidak bisa kembali."
"Kalau aku bisa kembali, kenapa kau tidak bisa, Jaemin? Bahkan Haechan saja bisa kembali."
Jaemin mengulas senyum tipis, tapi dapat Renjun lihat matanya yang berkaca-kaca. "Aku sudah mati, Renjun. Aku tidak bisa kembali. Tapi kau dan Haechan memang belum waktunya, jadi ...."
Jaemin tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Renjun itu lemah jika dia melihat orang lain menangis, buktinya kini dia ikut menangis. "Tapi ... bagaimana bisa kau pergi secepat ini?"
Jaemin menggeleng. "Terlalu pedih untuk diceritakan."
"Jaemin-ah, kau tidak apa-apa?"
Jaemin mengangguk, ia lantas menghapus air matanya. "Sekarang turuti perkataanku ya? Anggap saja ini sebagai bentuk permintaan terakhirku. Kau harus kembali, sampaikan salam rinduku pada teman-teman, bilang juga pada mereka kalau aku meminta maaf karena pergi tanpa pamit. Lalu ... katakan pada Jisung kalau aku menyayanginya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Stepbrother [END]
FanfictionMempunyai saudara tiri, laki-laki, seumuran, emosian dan menyebalkan adalah salah satu dari banyaknya hal yang Haechan benci. "Aku tidak suka saudara tiri sepertimu, Huang Renjun!" "Menurutmu aku juga suka saudara tiri sepertimu?" |Bagian dari DREAM...