Can I? 42. So Sad

80 35 67
                                    

Budayakan membaca sampai selesai.

.

By. Kanti

-----Happy Reading-----

.

Musik terdengar memenuhi ruangan ini. Reno jadi pusat perhatian karena pakaian yang dipakainya adalah seragam sekolah. Ia terus jalan tidak peduli dengan tatapan orang-orang hingga sampai di satu ruangan untuk menemui seseorang.

''Dengan kondisi tangan kamu seperti ini, apa kamu yakin bisa bekerja dengan baik?'' tanya seorang pria yang merupakan pemilik bar ini. Jelas-jelas tangan kiri Reno masih di pasang gips jadi beliau tidak yakin dengan Reno.

Reno mengangguk yakin. ''Saya yakin pak, saya bisa bekerja dengan baik.'' Jawab Reno seyakin-yakinnya.

Pria itu menghela panjang mencoba untuk yakin dan percaya dengan Reno. ''Baiklah tapi kalau sampai terjadi sesuatu dengan tangan kamu, saya tidak tanggung jawab.'' Tegasnya memperingati. Jangan sampai ada masalah sama Reno terus membawa nama pemilik bar ini.

''Bapak tenang saja, saya yakin tidak akan terjadi apa-apa dengan tangan saya.'' Ucap Reno dengan kepercayaan dirinya yang ia bawa.

''Ya sudah sekarang kamu sudah bisa bekerja dan jangan lupa ganti baju kamu dengan baju yang sudah disediakan di sini.'' Kata pemilik bar ini.

Senyum Reno mengembang. ''Baik pak. Terimakasih.''

Reno diarahkan oleh petugas di bar ini untuk mengganti pakaiannya dan langsung bekerja sesuatu jabatannya sebagai bartender. Meskipun Reno agak tertekan bekerja di sini karena pemandangan orang-orang yang tidak biasa Reno lihat secara langsung. Bagaimana tidak? Perempuan bohay dengan pakaian yang seksi memperlihatkan lekuk tubuhnya, laki-laki yang memakai kemeja dengan kancing yang terbuka sampai dada di temani oleh perempuan-perempuan seksi itu. Bahkan yang bikin Reno kaget adalah ketika melihat pedovil sedang bermain dengan perempuan yang jauh terlihat lebih muda darinya.

Beberapa kali Reno memalingkan pandangannya namun ia terus menatap kearah itu. Gawat ini. Fokus Reno, fokus bekerja.

Di tempat lain, tepatnya di rumah sakit. Dokter tampak sibuk di bantu para suster sedangkan Mba Titin di luar dengan perasaan panik, cemas, khawatir, takut yang berlebihan. Bagaimana tidak? Kondisi Gina makin memburuk. Tubuh nya semakin lemah. Bahkan dokter pun sampai ikut dibuat sama dengan perasaan Mba Titin.

Tidak sebentar. Setelah pemeriksaan tadi Mba Titin berbicara dengan dokter kondisi Gina saat ini. Hujan yang turun sore ini membawa harapan Mba Titin semoga saja tidak terjadi sesuatu diluar pikiran.

''Leukimia yang diderita Gina sudah memasuki stadium tiga.'' Kata dokter memberikan kabar buruk. ''Itu ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar getah bening dan Gina juga mengalami anemia dan terlalu banyak sel darah putih.'' Tambah dokter makin menarik hawa negative ke ruangan ini.

Mba Titin menahan dirinya untuk tidak nangis meskipun air mata sudah membasahi kedua bola matanya. ''Dok, saya mohon lakukan yang terbaik supaya Gina bisa sembuh. Saya tidak mau Gina kehilangan senyumannya karena menderita penyakit ini dok. Saya mohon.''

''Sebagai seorang dokter saya akan lakukan yang terbaik untuk Gina.'' Itu sudah seharusnya. Karena tugas dokter ya, menolong pasien.

Gimana ini? Mba Titin harus kerja apa untuk mendapatkan uang supaya Gina bisa berobat lagi? Kenapa sih hidup harus seperti roda yang berputar? Kenapa nggak lurus aja terus?

Kembali ke ruangannya Gina. Gadis pucat itu sudah terbangun dari pejaman matanya. ''Apa penyakit Gina udah separah itu?'' gadis pucat itu bertanya sambil berharap kalau Mba Titin akan menggelengkan kepalanya menghilangkan rasa takut yang menghantuinya.

Berhenti di samping Gina, lalu tersenyum kecil. Mba Titin bingung bagaimana harus menjelaskannya. Kepala Gina dielus dengan sayang oleh tangan kanannya. ''Mba Gina harus bertahan ya? Mba Titin yakin kalau Mba Gina bisa sembuh. Mba Titin yakin kalau Mba Gina bisa tersenyum seperti dulu lagi. Pokok nya sampai hari itu tiba Mba Gina harus bertahan. Mba Gina harus kuat. Jangan banyak pikiran ya? Mba Titin nggak mau Mba Gina kebanyakan pikiran terus bikin penyakit Mba Gina tambah parah. Mba Titin nggak mau.'' Kedua bola matanya sudah dibasahi oleh air mata yang tidak menetes jatuh. Tidak bisa dibayangkan jika akan terjadi sesuatu lagi dengan Gina.

Lain dengan Gina yang berhasil membuat air matanya jatuh di atas rasa sakit yang ia rasakan. Kapan hari itu akan tiba? Gina tidak sabar menunggunya.

Mba Titin mengeluarkan senyumannya dibalik kesedihannya itu. ''Nanti kalau Mba Gina udah sembuh, Mba Gina bisa masak bareng sama Mba Titin. Masak makanan kesukaannya Mba Gina. Nanti Mba Titin bisa bantuin Mba Gina kerjain pr sekolah.'' Harapan Mba Titin bukan sekadar harapan yang hanya diucapkan saja. Itu harus jadi kenyataan.

Bibir Gina tersenyum kecil disamping air matanya yang terus keluar. Membayangkan itu semua rasanya sangat bahagia.

Malam nya disaat Mba Titin sudah tertidur pulas di atas sofa, ada yang Gina pikirkan. Bukan tentang dirinya dan leukimia, bukan tentang Mba Titin juga. Tapi tentang dirinya dan Reno. Apa laki-laki itu akan datang kemari lagi? Sejak kematian Ayu dia belum lagi di hadapan Gina. Ada yang ingin Gina katakan padanya.

Sulit bagi Gina untuk menghindar dengan yang namanya berpikir. Berpikir apapun sampai menyusahkan diri sendiri. Sampai detik ini Gina terus bertanya kepada Tuhan sebenarnya apa Tuhan rencanakan? Gina juga tidak tau siapa dia. Apa dia adalah peran utama yang dibuat menderita atau sosok antagonis yang berakhir dengan karma? Atau bahkan dia hanya seorang figuran yang terkadang tidak mendapat perhatian dari penonton?

Dengan kondisi seperti ini apa yang bisa Gina lakukan selain berharap untuk bisa kembali ke masa bahagianya? Manusia lemah seperti dirinya yang tidak punya sepersen pun kekuatan hanya bisa dikalahkan.

.

.

.

- Can I? -

#next43

Hai guys!

Gimana nih, sama Can I? chapter 42?

Ini adalah second story author, so kalian JANGAN LUPA untuk VOTE, KOMEN dan DUKUNG ya?

Kalau ADA TYPO langsung KOMEN aja ya?

Thank you, see you!!!

Can I? ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang