8.

109 28 29
                                    

Gadis berusia 15 tahun, cantik, manis, dan pintar. Di usia muda selalu ia habiskan untuk belajar, mencari pengalaman bermakna demi menggapai masa depan yang cerah. Meskipun ditempatkan di sekolah bergengsi, ia tidak pernah mengeluh bahwasanya gaya hidup selama di sekolah cukup berat—karena disiplin dan tertib itu merupakan hal yang sulit bagi para remaja.

Namun pagi ini, ia tidak dapat pergi ke sekolah karena jatuh sakit.

Ini bukan pertama kalinya, justru ia sudah sering sakit-sakitan dikarenakan tubuhnya yang rentan. Terutama perubahan cuaca, siklus hidup berbeda, serta.. mental.

Ia memanglah pintar dan cerdas.
Seiring berjalan waktu ia mulai gelisah terhadap pikirannya sendiri, mencari informasi untuk menjawab segala pertanyaan didalam otaknya—Mengapa orang yang memiliki kelebihan selalu mempunyai sesuatu yang tidak pernah diinginkan, dan kini ia tahu kalau semua orang pasti punya kekurangan.

Poin utama jika kita membicarakan masalah ini adalah tekanan batin. Secara garis besar pergaulan remaja itu cukup keras, kita mesti bisa memberanikan diri untuk berbaur dengan orang-orang yang seumuran, juga kepada orang yang tidak kita kenali. Dari segala macam aspek ia terus berpikir dan mencari jalan keluarnya.. tapi ia malah mendapat akhir yang buruk.

Orang-orang yang sudah meng-klaim dirinya teman mengkhianatinya, merobek-robek hatinya layaknya kertas tanpa rasa bersalah. Anak muda memang begitu, tapi kenapa? kenapa mereka sampai berani melakukan itu? Demi kesenangan? Keseruan? Atau.. kepuasan?

Ia tidak mau lagi bergaul.
Sekarang ia lebih memilih untuk tetap sakit—tak ingin sembuh—diam di rumah mungkin lebih baik daripada keluar dan nongkrong bersama mereka.

UHUK-UHUK!
Batuk berdahak menyakiti tenggorokannya, rasanya gatal dan nyeri. Ia pun bangkit dan duduk di sisi kasur sambil terbatuk-batuk sekian detik yang terhitung lama.

Lama kelamaan batuknya malah terasa kering, dahak yang tadinya menggumpal dalam tenggorokan tiba-tiba saja hilang karena sudah ia telan. Entah kenapa ia tidak mau membuang dahak itu keluar, sampai pada akhirnya batuk pun tak kunjung berhenti.

Sesaat suara batuk itu semakin parah, ia pun menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Pada saat yang bersamaan ia merasakan bahwa ada yang tidak beres, telapak tangannya terasa basah, karena itulah ia mencoba 'tuk melihat. Dengan batuk terakhir pada saat ia membuka telapak tangannya.. disitulah ia panik ketika melihat darah.

"Sakit... Sakit... Tenggorokanku... Uhuk-uhuk!" ya, batuknya benar-benar tak berhenti. "Ayah.. dimana ayah? Disaat seperti ini dia tidak pernah ada untukku..."

Berharap dirinya mendapat kasih sayang dan juga perhatian, karena satu-satunya orang yang bisa di andalkan cuma ayahnya.

________________________________
.

.
THE CASE
"Chapter 8"
.

.

©Wibukun
________________________________

-- Lahan Parkir (Kantor Polisi) --
Tempat yang sama tapi di lokasi yang berbeda, Granger dan Silvanna baru saja tiba, tak lain dan tak bukan untuk menginterogasi dua penjahat.

Sebelum masuk kedalam, Granger menahan Silvanna supaya tidak mencampuri urusannya. Well, memang terdengar aneh, tapi memang beginilah detektif. Pikiran Granger dan Silvanna lumayan tidak terarah, namun Silvanna paham betul kalau pada tahap interogasi dirinya tidak berhak ikut campur.

"Kamu benar, alangkah baiknya kita mendapatkan informasi berbeda-beda. Hmm.. maka dari itu kita akan bergantian, 'kan?" kata Silvanna setelah mendengarkan penjelasan Granger.

♦️ THE CASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang