"Mau sampai kapan.. kau mengurungku, Jhin?" gadis itu bertanya lesu, nafasnya terasa berat, juga wajahnya tampak sangat pucat.
Di duga bahwa pria bernama Jhin merupakan penjahat kelas kakap yang telah membunuh banyak orang. Namun belum tentu benar, kita sendiri masih tidak tahu siapakah "penjahat" yang sebenarnya. Walau begitu Jhin memiliki tanda-tanda dengan penjahat yang kita duga—Jhin patut di curigai, itu saja.
"Kenapa kau selalu merawatku...? Padahal yang aku inginkan cuma bertemu dengan Ayah."
Jhin tetap diam, ia hanya berjalan masuk sambil melepas jubah hitamnya, namun tidak dengan topeng yang ia pakai.
"Jawab aku.. Jhin." si gadis bersikeras. "Bawa aku kepada Ayahku, kumohon."
Seperti yang kita lihat bahwa Jhin sama sekali tidak menanggapi perkataan si gadis. Secara cuek ia duduk di kursi yang rapuh, tangan kanannya kini memegang sebuah violin berwarna cokelat.
"JHIN!" saking kesalnya, gadis itu berteriak kencang sehingga darah pun keluar dari mulutnya. "Uhuk-uhuk!!"
"Teruslah bicara jika kau mau bertambah sakit." barulah Jhin membalas, ia mulai memainkan violin itu dengan instrumen yang menenangkan.
Suasana kamar seketika berubah hanya karena melodi yang Jhin mainkan, si gadis akhirnya bisa tenang seraya berbaring tak berdaya. Meskipun dirinya bisa bergerak, tapi ia tidak bisa turun dari kasur keras ini begitu saja, karena penyakit yang diderita adalah penyakit langka dan lumayan parah.
Iringan melodi itu terus berdengung, mengisi keheningan dalam ruangan yang berdebu dan kotor. Jhin terus memainkan violinnya tanpa jeda, dari perlahan sampai permainannya pun semakin cepat—Dikala itu Jhin merubah sedikit aransemen tersebut sehingga terciptalah instrumen.. kematian.
________________________________
..
THE CASE
"Chapter 12"
..
©Wibukun
________________________________-- Police Departement --
"Fuaahhh~~ beres juga. Aku tidak menyangka ternyata membuat laporan itu lebih lama dari dugaanku." Silvanna meregangkan badan, rasanya lega sekali kalau pekerjaan bisa tuntas."Waktunya pulang dan istirahat." lalu ia berdiri sambil mengambil mantel putihnya.
Pada saat dirinya hendak bergegas, pintu ruangan terbuka secara tiba-tiba, sosok Jhonson berdiri di ambang pintu. "Terimakasih atas kerja samanya, Silvanna. Aku turut senang akhirnya pekerjaan ini terselesaikan tanpa masalah." kata Johnson.
"Yah, kalau dibilang begitu... gak tahu kenapa kok rasanya sebel, ya." Silvanna menjawab sambil cemberut.
Jawaban Silvanna cuma direspon oleh tawaan, Johnson berjalan ke dalam dan menghampirinya. Ia pun berkata... "Aku tahu perasaanmu, terlebih Granger memanglah seperti itu. Pasti menyebalkan bila kau harus bekerja terus bersamanya, iyakan? Hahahaha~"
"Tutup mulutmu, John. Apa komandan sepertimu patut mengatakan itu? Mestinya kau lebih memujiku daripada mengejekku!"
"Oh, ayolah~ aku kan cuma bercanda. Lagipula kau tidak harus di puji secara berlebihan 'toh tugasmu sebagai detektif sudah sangat baik!" Johnson mengacungkan jempol tanda Good Job.
Alhasil muka Silvanna memerah, ia malu-malu tapi gak mau nunjukin rasa malunya di depan Johnson. Maka dari itu ia membuang muka—"Senang banget bisa dapet pujian dari seseorang. Tapi... aku berharap yang memujiku itu Granger, kalau Johnson sih sudah tak aneh karena seorang petinggi memang harus nyemangatin anak buahnya." ucap Silvanna dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
♦️ THE CASE
FanfictionGranger, adalah pria (24) yang menjaga loyalitas dalam bidangnya. Ia merupakan seorang detektif kelas menengah yang sudah memecahkan banyak kasus selama 5 tahun, didampingi oleh salah satu rekan terbaiknya bernama Silvanna. Meski Granger sudah berpe...