16.

59 16 7
                                    

"Bagaimana? Apakah aktingku bagus?" pria berponi putih itu memutar-mutar pistolnya setelah menodong ke arah Silvanna.

Langsung saja ekspresi wajah Silvanna turun drastis, yang tadinya kaget sekarang jadi datar sambil cemberut. "Tidak lucu sama sekali, dan tidak biasanya kamu bercanda seperti itu." katanya.

"Bukan karena apa, aku hanya ingin membuat suasana lebih nyaman. Lagipula tahu sendiri saat kau mengabaikanku."

"...Hm, iya-iya itu memang salahku. Jadi maaf kalau sudah membuat suasana semakin canggung." walau begitu ucapan Silvanna malah terdengar tidak peduli alias sebodo amat.

Mereka berdua kembali berjalan, terhitung sudah dapat jatah libur. Sempat mau pergi ke taman tapi sepertinya tempat itu terbilang mainstream. Maka dari itu Granger akan mengajaknya ke Game Station.

Tak perlu naik kendaraan 'toh tempat yang dituju tidak terlalu jauh. Granger berjalan disamping Silvanna sambil memperhatikan wajahnya, tak lama setelah itu ia menatapnya secara tajam.

Merasa dirinya sedang ditatap, Silvanna pun menoleh. "Apa? Apa ada yang salah di wajahku?" ia bertanya sambil terus melangkah.

"Tidak ada, cuma aku berpikir kalau mukamu itu bakal lebih cantik jika memakai sedikit make up."

"Entah kenapa setelah menuntaskan tugas.. kamu sekarang malah cerewet. Kesambet apa?"

Pertanyaan tersebut tak langsung dibalas olehnya, Granger berhenti melangkah sejenak.

"Granger?" Silvanna juga ikut berhenti karena heran.

Pria itu mulai membuka mulutnya.. "Aku tahu apa yang kau pikirkan—Kau akan bertanya mengenai senjata ini, 'bukan begitu?" lalu Granger menunjukkan tas violin-nya.

Bukan hal aneh apabila Granger sudah tahu isi kepala Silvanna, mau bagaimanapun pria itu merupakan detektif kelas menengah yang kemampuannya bisa dibilang diatas rata-rata. Namun sebagai mestinya seorang partner atau pendamping.. Silvanna pun mesti bisa bertindak sendiri.

Ia menarik nafas dalam-dalam, berdiri tegak seraya membusungkan dadanya. Kemudian Silvanna berkata.. "Kita akan membahas itu setelah bersenang-senang, Granger." wanita ini mengukir senyuman yang terlihat manis, meski dibalik senyuman ini Silvanna merasa sedikit.. takut.

________________________________
.

.
THE CASE
"Chapter 16"
.

.

©Wibukun
________________________________

-- Game Station --
Granger dan Silvanna menghabiskan waktu bersama di zona permainan bagian Arcade FPS—memainkan game dalam satu mesin besar yang biasa disebut 'Dingdong'. Time Crisis merupakan game favorit Granger sejak kecil, dan ia tidak pernah lupa untuk memainkan game ini jika punya waktu luang yang cukup.

"Sial." satu ucapan terlontar dari mulut Silvanna, ia mulai kesal karena belum bisa mengalahkan Granger dalam permainan tersebut. "Sial.. sial.. sial..." walau demikian dirinya tak pantang menyerah, Silvanna terus menembak-nembak meskipun meleset.

"Masih sama seperti dulu? caramu bermain tidak pernah berubah, Silvi." kata Granger seraya meledek, pistol mainan itu ia pegang erat-erat.

"Diam dan perhatikan aku, sebentar lagi kamu akan kalah." wajahnya terlihat jelas kalau Silvanna benar-benar menginginkan kemanangan.

Well, apabila kalian ingin tahu—Time Crisis adalah game FPS classic berbasis Arcade, dan game ini terbilang sukses di tahun 80-90. Sudah banyak game FPS modern yang terinspirasi dari game ini termasuk: Counter Strike, Cross Fire, Call of Duty, Point Blank, dan sejenisnya.

♦️ THE CASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang