Bara memakai baju kaos berwarna hitam, tak lupa juga Hoodie berwarna senada dengan bajunya membuat penampilan Bara begitu keren. Ia keluar dari kamarnya dengan perasaan emosi yang menggebu-gebu. Entah kenapa tubuhnya merasa lebih baik dan ingin melampiaskan kemarahannya pada seseorang.
"Mau kemana? Kamu kan belum sembuh?" tanya Kiara memberhentikan langkah Bara dengan mencekal pergelangan tangannya.
Bara menepis tangan istri kecilnya dengan sekali sentakan, Kiara yang mendapat perlakuan seperti itu terkejut sekaligus keheranan dengan sikap sang suami yang selalu berubah.
"Bukan urusan kamu!" ujar Bara dingin. Ia juga sama sekali tak menatap wajah Kiara yang mulai berkaca-kaca.
"Maaf," cicit Kiara, matanya mulai berkaca-kaca menahan air matanya yang ingin meluncur di pipinya. Ada apa dengan suaminya yang begitu menahan emosi? Apakah ia sudah melakukan kesalahan lagi?
Tanpa membalas ucapan dari istri kecilnya, Bara pergi begitu saja. Kiara menatap kepergian dari sang suami yang mulai menjauh dari pandangannya. Bara melenggang pergi tanpa melihat atau menoleh sedikitpun ke arah Kiara yang menangis. Ia harus segera pergi untuk bertemu dengan sang sahabat.
Kiara terduduk di sofa, dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ia sangat khawatir dengan kondisi Bara yang belum sembuh total. Ia takut kalau terjadi hal buruk pada suaminya, semoga saja ini ini cuma firasat sementara yang ada dipikirannya. Buang pikiran buruk itu jauh-jauh.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Desika menghampiri sang menantu yang tengah menangis.
"Hiks, Mama, Ara takut ...." Kiara terisak, matanya menatap sendu sang Mama mertua.
"Takut apa sayang?" Desika membawa Kiara ke dalam pelukannya, berusaha menenangkan Kiara.
Kiara membalas pelukan dari sang Mama mertua dengan erat. "Ara takut, kalau Kak Bara kenapa-napa, Ma."
Desika mengernyit heran dengan ucapan dari Kiara itu. Apakah sudah terjadi sesuatu pada putra sulungnya? Apakah anaknya kembali sakit setelah memakan sate ayam? Itulah yang ada dipikiran Desika saat ini tentang Bara. Ia sepertinya ketinggalan banyak berita.
Desika mengurai pelukan itu. "Loh, Bara memangnya kenapa? Kan ada di kamarnya."
Kiara menggeleng cepat. "Bara gak ada, Ma," sahut Kiara masih saja menangis tersedu-sedu.
"Apa ini maksudnya?" Desika terkejut mendengar ucapan dari sang menantu. Apa putra sulungnya itu mati gara-gara kebanyakan makan sate ayam? Nah loh! Ia pun menggelengkan kepalanya cepat, lemah sekali kalau sang anak mati gara-gara makan sate ayam! Bara tidak selemah itu, pikirnya.
"Bara sudah pergi, Ma," lirihnya pelan.
Desika semakin terkejut, mengusap dadanya berulang kali. Menggeleng-gelengkan kepalanya masih belum percaya dengan perkataan dari Kiara, ia pun ikut menangis.
"Innalilahi," ucap Desika dengan lirih.
Kiara mengerutkan keningnya. "Maksud Mama apa? Kok innalilahi?"
"Maksud kamu tadi bukannya Bara sudah pergi. Sudah mening--"
"Bukan itu, Ma ...." Kiara memotong ucapan dari sang Mama mertua dengan cepat. Kok makin nyeleneh ya?
"Terus?"
Kiara menghela napasnya. "Bara pergi keluar, Ma. Ara gak tau dia pergi kemana," jawab Kiara dengan raut khawatir.
Akhirnya Desika bisa bernapas lega, bahwa sang anak masih baik-baik saja. Ia pun menyeka air matanya dan tersenyum simpul menatap Kiara.
"Mama kirain tadi Bara udah sekarat," ujar Desika mulai terkekeh kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married With CEO
Chick-LitKiara tak menyangka di usianya yang masih sangat muda, telah dijodohkan dengan seorang CEO muda sukses. Sepertinya keegoisan dari sang ayah yang menginginkan putri bungsunya itu menikah dengan Bara Carel Adiwijaya, semata-mata hanya karena perusahaa...