Sesampainya di depan pintu, ketika gadis itu ingin mengetuk pintu tiba-tiba saja pintu sudah terbuka. Ya, yang membukakan pintu tersebut bukan maid yang ada di dalam rumah, melainkan Deo-- ayah Kiara.
Deo juga sudah melihat Kiara dan Fadil saat di depan gerbang rumah. Ia rasa putri bungsunya itu ada rasa sama pemuda tadi, dilihat dari keakraban mereka berdua.
"Assal,--" belum selesai Kiara mengucapkan salamnya, terlebih dahulu ayahnya memotong ucapannya itu.
Lagi dan lagi, Kiara dibuat bingung dengan sikap sang ayah.
"Oh ... ternyata ini alasan kamu, kenapa tidak mau Papa jodohkan, hah?!" bentak Deo pada putri bungsunya.
Kiara menggeleng pelan, sembari menunduk takut melihat wajah kemarahan dari ayahnya. Baru kali ini ia dibentak oleh ayahnya. Apakah rasa sayang itu telah hilang? Semenjak Mama dan Papa bercerai. Miris, sejak lima tahun terakhir sang ayah hanya sibuk mengurus ibu tiri, serta adik tirinya itu. Dan satu lagi, sang ayah juga sibuk dengan urusan kantor, kantor dan kantor. Sedangkan dia? Tidak sama sekali.
"Bukan, Pa. Papa salah paham. Dia itu cuma teman Ara aja," jelas Kiara seraya menggeleng cepat dengan isakan tangisan.
"Kamu jangan bohong!"
"Gak, Pa."
"Sudahlah, jangan banyak alasan deh. Mending kamu tuh cepat-cepat dinikahin aja!" timpal Vina-- sang ibu tiri.
'Biar cepat keluar dari rumah mewah ini,' lanjut batin Vina.
"Diam deh kamu. Dasar pelakor! Perusak kebahagiaan keluarga orang lain, wanita jal*ng!" teriak Kiara, entah dapat keberanian darimana sampai gadis itu berani melawan ucapan dari ibu tirinya.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Bukan Vina yang telah menampar pipi Kiara, melainkan Deo-- sang ayah yang lebih dulu menampar pipi putri bungsunya. Kiara pun memegang pipi kirinya yang terasa sakit akibat tamparan keras yang dilayangkan oleh ayahnya. Tetapi, rasa sakit itu tidak sesakit saat sang ayah lebih membela ibu tiri, bukan dia yang notabenenya anak kandung.
Sedangkan Vina? Dia merasa sangat puas dengan drama seperti ini. Inilah yang dia inginkan, dia mau Deo lebih membela dia daripada putri bungsunya.
"Jaga ucapan kamu itu, Ara! Papa tidak pernah mengajarkan kamu berbicara seperti itu!" ucap Deo penuh penekanan.
Hancur sudah pertahanan diri Kiara. Disaat sang ayah membela ibu tirinya, bukan dia. Kenapa dirinya harus dibawa ke rumah ini? Kalau akhirnya menjadi seperti sekarang. Ia lebih memilih untuk tinggal bersama Mama dan kakak kandungnya, daripada sang ayah.
"Papa jahat! Ara benci sama Papa!"
Setelah mengucapkan kalimat tadi, Kiara bergegas menaiki tangga satu persatu menuju kamarnya. Sambil memegangi pipi kiri yang memerah akibat tamparan keras dari sang ayah, dengan tangan kanan. Air mata sedari tadi terus meluncur membasahi pipinya.
Brak!
Pintu dibanting keras. Sehingga menghasilkan bunyi yang sangat nyaring. Setelah itu Kiara bergegas menuju kasur queen size, menghempaskan tubuhnya dan menangis sejadi-jadinya. Lima belas menit berlalu, tangisan itu mulai reda bersamaan dengan rasa kantuk yang mulai datang.
"Ara kangen Mama sama kakak," lirih Kiara dengan mata terpejam.
***
"Adikku yang satu ini cantik banget, sih," puji Axel mencubit kedua pipi chubby Kiara dengan gemas.
"Awwhh ... Kakak!" ringis Kiara pelan, sambil mengusap kedua pipi chubby-nya.
Clara yang melihat keakraban kakak dan adik itu hanya tersenyum.
"Mana sih, yang sakit pipinya?" tanya Axel membelai lembut pipi chubby adik kandungnya itu.
"Wlekk ... tapi bohong, Kakak kena tipu, hahaha." Kiara menjulurkan lidahnya dan tertawa lepas.
"Udah berani, ya, bohongin Kakak."
Axel mendekati Kiara yang sedang tertawa lepas dan mulai menggelitik pinggang adik kandungnya.
"Hahaha ... udah, Kak. Hahaha," ucap Kiara masih tertawa sampai mengeluarkan air mata.
"Oke. Tapi ada syaratnya," sahut Axel mengajukan persyaratan buat adik kandungnya.
"Apa itu syaratnya, Kak?" tanya Kiara menautkan kedua alisnya.
"Syaratnya ... Ara harus belajar yang rajin, biar dapat nilai bagus," jawab Axel tersenyum simpul.
"Siap, Kak!" Kiara mengepalkan tangannya diatas udara, penuh semangat.
Deo yang baru pulang dari kantor, langsung menghampiri kedua anaknya itu.
"Sini, ikut sama Papa!" Deo menarik paksa lengan mungil Kiara.
"Ta-tapi, mau ke mana, Pa?" tanya Kiara dengan polos.
"Mulai hari ini. Kamu sama kakakmu itu tidak boleh bersama lagi!" jawab Deo dengan ketus.
"Tapi, Pa. Ara gak mau pisah sama Kak Axel ...." Kiara menangis tersedu-sedu.
"Mas, kamu apa-apaan sih?! Jangan kasar sama, Ara," sahut Clara yang ingin mengambil alih Kiara dari genggaman tangan Deo. Secepat mungkin, Deo menepis tangan Clara dengan kasar.
"Terserah aku. Dia juga anak aku! Aku berhak membawa dia pergi dari sini!"
"Kamu boleh pergi dari sini. Asalkan jangan bawa Ara pergi!" Clara tak habis pikir dengan sikap sang suami yang seenak jidat.
"Aku juga udah muak dengan kelakuan kamu itu. Yang bermain cinta dengan wanita lain!" Emosi Clara sudah tak terkendali lagi.
"Kamu pikir, aku sanggup bertahan dengan kamu yang selalu sibuk? Aku juga bosan!"
"Aku sibuk itu buat kehidupan kita juga. Sedangkan kamu? Malah asyik dengan wanita jal*ng!" sahut Clara penuh emosi.
Setelah pertikaian itu selesai, akhirnya kata cerai terlontarkan dari mulut mereka berdua. Clara menangis dan memeluk putra sulungnya yaitu, Axel Mahendradatta Wells. Sementara Deo, ia sudah membawa Kiara pergi dari rumah mewah itu.
***
TBC ....

KAMU SEDANG MEMBACA
Married With CEO
ChickLitKiara tak menyangka di usianya yang masih sangat muda, telah dijodohkan dengan seorang CEO muda sukses. Sepertinya keegoisan dari sang ayah yang menginginkan putri bungsunya itu menikah dengan Bara Carel Adiwijaya, semata-mata hanya karena perusahaa...